Minggu, 03 Februari 2013

Kalau Nyunggi Wakul Jangan Gembelengan

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu jangan banyak berharap kepada saya. Jangan bandingkan saya dengan para ustadz, para alim ulama dan para penceramah yang hebat-hebat itu karena saya tidak punya kemampuan seperti mereka. Sebab saya bukan berlatar belakang santri sehingga tidak punya banyak ilmu agama seperti mereka. Saya disini hanya sami’na wa atho’na kepada para pemrakarsa kegiatan ini. Jadi, malam ini saya hanya akan mengajak sholawatan dan berdzikir sedikit-sedikit”, demikian Cak Nun membuka pengajian di lapangan markas KOPASUS Kandang Menjangan, Surakarta pada 29 Juni 2012 malam yang lalu.
 
Kegiatan peringatan Isra’ wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh KOPASSUS Grup II Kandang Menjangan malam itu dihadiri ribuan masyarakat dan berbagai kalangan dari pejabat birokrasi, para ulama serta kiai di Surakarta dan sekitarnya.
Cak Nun mengawali uraiannya dengan mengingatkan jama’ah pada penggalan ayat dalam Surah An-Nas, “Di Al-Qur’an itu ayat yang berbunyi Alladzii yuwaswisu fisuduurinnas, itu Allah mengabarkan bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar dirimu yang mengadu domba kalian. Kita rukun berabad-abad tapi tiba-tiba kita bertengkar itu karena di dalam pikiran dan hati kita ada yuwaswisu fisuduur itu,” papar Cak Nun. Pada kesempatan awal, Cak Nun kembali mengutarakan mengenai adanya gejala yang sedang memposisikan Solo sebagai daerah eksperimen adu domba.

Pokok e, nek moco koran, moco buku, ndelok tivi, ngrungokne SBY pidato (pokoknya kalau membaca koran, membaca buku, menonton siaran televisi, mendengarkan SBY pidato) selalu ingatlah yuwaswisu fisuduurinnas itu tadi. Jadi saya dan siapapun tidak bisa melindungi Indonesia dari yuwaswisu fisuduurinnas,” Cak Nun menandaskan.

Di hadapan ribuan jama’ah itu Cak Nun berusaha menarik hubungan antara konflik yang sedang terjadi di beberapa negara Arab sekarang dengan posisi Indonesia dalam kancah politik dan kepemimpinan dunia di masa mendatang. Keyakinan yang disampaikan oleh Cak Nun mengenai “keunggulan” bangsa Indonesia itu didasari oleh kenyataan psikologi sosial dan karakteristik genealogi yang dikandung oleh bangsa Indonesia. Dalam pandangan Cak Nun, masa depan dunia ada dalam pangkuan Bangsa Indonesia sebab bangsa kita memiliki kelengkapan elemen-elemen dan instrumen sebagai pemimpin, baik dari sisi budaya, bahasa, mental psikologi, sosial, dan sebagainya.

Untuk menjelaskan apa yang telah diuraikan ini, Cak Nun lantas mengambil contoh dari lagu tradisional Jawa, Gundul-Gundul Pacul. “Perhatikan lagu Gundul-Gundul Pacul itu, wakul itu “wadah sego” (wadah nasi), yang maksudnya adalah kesejahteraan rakyat. Sedangkan gundul (kepala) melambangkan pemimpin yang tugasnya nyunggi wakul (meletakkan kesejahteraan rakyat di tempat paling atas/prioritas utama). Wakul harus dibawa dengan cara disunggi (diletakkan di atas kepala), tidak boleh dicangking (ditenteng/dibawa dengan tangan), dikempit (diletakkan di antara pinggang dan lengan yang dirapatkan) atau dipikul. Kalau gundul (kepala/pemimpin) yang nyunggi wakul (mengurusi kesejahteraan rakyat) itu gembelengan ( seenaknya sendiri, arogan, mbagusi, semena-mena) maka wakul akan tumpah berceceran di jalan. Nah, anda tahu kan? Kalau nasi di piring itu dimakan orang/manusia, tapi kalau nasi berceceran di jalanan siapa yang memakan? Tentu ayam dan binatang-binatang lainnya. Kalau demikian, jika petugas penyunggi wakul-mu gembelengan sehingga nasi (kesejahteraan)-nya tumpah, itu artinya engkau semua, kita diposisikan sebagai binatang,” urai Cak Nun.

Pada bagian selanjutnya Cak Nun menegaskan agar kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia kembali membangun kemandirian diri. Menurut pandangan Cak Nun, selama ini kita telah terseret terlalu jauh oleh pusaran takhayul modernisme yang dihembuskan dari bangsa di luar kita sehingga kita kehilangan kebesaran kita sendiri. Kita terlalu menyandarkan hampir setiap tata nilai hidup terhadap bangsa Barat sehingga kita kurang berkonsentrasi dan tidak mampu menemukan jati diri kita sebagai bangsa yang merangkum kebesaran.

Tuo ngendi, Etan opo Kulon (tua mana, Timur atau Barat)? Kok yang memimpin Barat? Itu artinya Kebo Nusu Gudhel“, jelas Cak Nun. ” Selama ini anda dibohongi, seakan-akan ilmu datangnya dari Barat, padahal kalau anda mau meneliti dan belajar anda akan mengetahui bahwa semua ilmu itu lahirnya dari Timur. Filsafat, matematika, astronomi dan hampir semua ilmu lahir dari Timur. Bahkan semua agama lahirnya dari Timur kan? Tapi kita selama ini disuruh nyusu gudel“, Cak Nun meneruskan penjelasannya.
Namun demikian Cak Nun menyampaikan optimismenya bahwa bangsa kita akan menjadi bangsa yang paling kuat terhadap kehancuran oleh karena 2 faktor, yaitu:
  1. Karena anda tidak pernah berhenti berusaha mendekat kepada Tuhan
  2. Karena bagaimanapun rusaknya manusia Indonesia, mayoritas dari masyarakat kita tetap menjaga keluarga dan rumah tangganya masing-masing. “Bagaimanapun jahatnya seseorang, ia tetap baik-baik dengan keluarganya”, kata Cak Nun.
“Kita berkumpul di sini seperti ini adalah salah satu bukti bahwa kita selalu tidak berhenti mendekat kepada Tuhan. Kenapa kita berkumpul seperti ini? Saya yakin anda semua bertujuan di antaranya adalah agar terjalin persaudaraan sesama kita. Ini juga terjadi di banyak tempat di Indonesia yang saya yakin hal seperti ini tidak akan terjadi di tempat lain di dunia orang berkumpul sebanyak ini, kecuali di Indonesia. Maka dari itu jika pada suatu hari nanti ada sesuatu yang besar yang akan terjadi di dunia, bangsa Indonesialah yang akan jadi penyelamatnya, ” Cak Nun mengungkapkan keyakinannya.

Dengan mengajak hadirin memperhatikan bentuk morfologi kepulauan Indonesia, Cak Nun berujar bahwa Indonesia adalah suatu tempat yang memang telah dipersiapkan sebagai “kapal Nuh” yang akan sanggup menampung sangat banyak keberbedaan di dunia ini melalui tata kelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan pergesekan dan hidup dalam keselarasan. Maka dari itu sekali lagi Cak Nun menegaskan agar kita belajar sejarah sehingga menumbuhkan pengertian, pengetahuan dan kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar. “Kita harus percaya diri bahwa kita adalah bangsa besar”, Cak Nun menandaskan.

Dalam kesempatan ini, Cak Nun mempersilahkan beberapa orang santri dari pondok pesantren di sekitar Surakarta untuk melantunkan sholawat bersama-sama hadirin. Tak ketinggalan pula, dua orang Ibu-ibu yang hadir juga dipersilahkan Cak Nun maju ke depan dan bersama-sama seluruh jama’ah yang hadir menyanyikan lagu Tombo Ati. Peringatan Isra’ Mi’raj malam itu semakin lengkap keindahannya karena Mbak Novia Kolopaking juga hadir dan menghibur hadirin dengan lantunan suara merdunya.

Pada bagian akhir acara, Cak Nun menegaskan kepada para jama’ah bahwa sorga itu tidak mencari orang yang mencari sorga, tapi surga mencari orang yang mencari Tuhan. Meneruskan paparannya, Cak Nun mengilustrasikan dengan cerita mengenai 2 orang penghuni surga yang oleh Tuhan dipanggil untuk dimintai keterangan tentang musabab mereka masuk neraka. Setelah keduanya disuruh balik, ternyata karena 2 penghuni neraka ini sama-sama berprasangka baik dan bersuka ria dengan perintah Tuhan, maka akhirnya Tuhan memasukkannya ke surga. Ini sekedar ilustrasi tapi mengandung pengertian bahwa setidak-tidaknya kita bisa menjalankan 2 hal untuk mencapai rahmat dan karunia Tuhan, yaitu selalu berprsangka baik kepada kehendak Tuhan dan senang hati melakukan perintah-Nya.

Dengan demikian, lanjut Cak Nun, kita seharusnya semakin waktu harus makin dewasa sebagai ummat beragama. Seyogyanya, adanya perbedaan di antara kita disikapi secara wajar dan selalu menyediakan diri untuk berlapang jiwa. “NU dan Muhammadiyah adalah salah satu jembatan menuju Islamnya Nabi Muhammad, jangan kita berselisih dan bertengkar karena “jembatan” itu”, Cak Nun mengumpamakan. Yang paling penting menurut Cak Nun, Orang Islam harus memberi rasa aman kepada siapa saja disekelilingnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar