“Bapak-bapak
dan Ibu-ibu jangan banyak berharap kepada saya. Jangan bandingkan saya dengan
para ustadz, para alim ulama dan para penceramah yang hebat-hebat itu karena
saya tidak punya kemampuan seperti mereka. Sebab saya bukan berlatar belakang
santri sehingga tidak punya banyak ilmu agama seperti mereka. Saya disini hanya
sami’na wa atho’na kepada para pemrakarsa kegiatan ini. Jadi, malam ini
saya hanya akan mengajak sholawatan dan berdzikir sedikit-sedikit”, demikian
Cak Nun membuka pengajian di lapangan markas KOPASUS Kandang Menjangan,
Surakarta pada 29 Juni 2012 malam yang lalu.
Kegiatan
peringatan Isra’ wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh
KOPASSUS Grup II Kandang Menjangan malam itu dihadiri ribuan masyarakat dan
berbagai kalangan dari pejabat birokrasi, para ulama serta kiai di Surakarta
dan sekitarnya.
Cak Nun
mengawali uraiannya dengan mengingatkan jama’ah pada penggalan ayat dalam Surah
An-Nas, “Di Al-Qur’an itu ayat yang berbunyi Alladzii yuwaswisu
fisuduurinnas, itu Allah mengabarkan bahwa ada kekuatan-kekuatan di luar
dirimu yang mengadu domba kalian. Kita rukun berabad-abad tapi tiba-tiba kita
bertengkar itu karena di dalam pikiran dan hati kita ada yuwaswisu fisuduur
itu,” papar Cak Nun. Pada kesempatan awal, Cak Nun kembali mengutarakan
mengenai adanya gejala yang sedang memposisikan Solo sebagai daerah eksperimen
adu domba.
“Pokok e,
nek moco koran, moco buku, ndelok tivi, ngrungokne SBY pidato (pokoknya
kalau membaca koran, membaca buku, menonton siaran televisi, mendengarkan SBY
pidato) selalu ingatlah yuwaswisu fisuduurinnas itu tadi. Jadi saya dan
siapapun tidak bisa melindungi Indonesia dari yuwaswisu fisuduurinnas,”
Cak Nun menandaskan.
Di hadapan
ribuan jama’ah itu Cak Nun berusaha menarik hubungan antara konflik yang sedang
terjadi di beberapa negara Arab sekarang dengan posisi Indonesia dalam kancah
politik dan kepemimpinan dunia di masa mendatang. Keyakinan yang disampaikan
oleh Cak Nun mengenai “keunggulan” bangsa Indonesia itu didasari oleh kenyataan
psikologi sosial dan karakteristik genealogi yang dikandung oleh bangsa
Indonesia. Dalam pandangan Cak Nun, masa depan dunia ada dalam pangkuan Bangsa
Indonesia sebab bangsa kita memiliki kelengkapan elemen-elemen dan instrumen
sebagai pemimpin, baik dari sisi budaya, bahasa, mental psikologi, sosial, dan
sebagainya.
Untuk
menjelaskan apa yang telah diuraikan ini, Cak Nun lantas mengambil contoh dari
lagu tradisional Jawa, Gundul-Gundul Pacul. “Perhatikan lagu Gundul-Gundul
Pacul itu, wakul itu “wadah sego” (wadah nasi), yang maksudnya
adalah kesejahteraan rakyat. Sedangkan gundul (kepala) melambangkan
pemimpin yang tugasnya nyunggi wakul (meletakkan kesejahteraan rakyat di
tempat paling atas/prioritas utama). Wakul harus dibawa dengan cara disunggi
(diletakkan di atas kepala), tidak boleh dicangking (ditenteng/dibawa
dengan tangan), dikempit (diletakkan di antara pinggang dan lengan yang
dirapatkan) atau dipikul. Kalau gundul (kepala/pemimpin) yang nyunggi
wakul (mengurusi kesejahteraan rakyat) itu gembelengan ( seenaknya
sendiri, arogan, mbagusi, semena-mena) maka wakul akan tumpah
berceceran di jalan. Nah, anda tahu kan? Kalau nasi di piring itu dimakan
orang/manusia, tapi kalau nasi berceceran di jalanan siapa yang memakan? Tentu
ayam dan binatang-binatang lainnya. Kalau demikian, jika petugas penyunggi
wakul-mu gembelengan sehingga nasi (kesejahteraan)-nya tumpah, itu artinya
engkau semua, kita diposisikan sebagai binatang,” urai Cak Nun.
Pada bagian
selanjutnya Cak Nun menegaskan agar kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia
kembali membangun kemandirian diri. Menurut pandangan Cak Nun, selama ini kita
telah terseret terlalu jauh oleh pusaran takhayul modernisme yang dihembuskan
dari bangsa di luar kita sehingga kita kehilangan kebesaran kita sendiri. Kita
terlalu menyandarkan hampir setiap tata nilai hidup terhadap bangsa Barat sehingga
kita kurang berkonsentrasi dan tidak mampu menemukan jati diri kita sebagai
bangsa yang merangkum kebesaran.
“Tuo
ngendi, Etan opo Kulon (tua mana, Timur atau Barat)? Kok yang memimpin
Barat? Itu artinya Kebo Nusu Gudhel“, jelas Cak Nun. ” Selama ini anda
dibohongi, seakan-akan ilmu datangnya dari Barat, padahal kalau anda mau
meneliti dan belajar anda akan mengetahui bahwa semua ilmu itu lahirnya dari
Timur. Filsafat, matematika, astronomi dan hampir semua ilmu lahir dari Timur.
Bahkan semua agama lahirnya dari Timur kan? Tapi kita selama ini disuruh nyusu
gudel“, Cak Nun meneruskan penjelasannya.
Namun
demikian Cak Nun menyampaikan optimismenya bahwa bangsa kita akan menjadi
bangsa yang paling kuat terhadap kehancuran oleh karena 2 faktor, yaitu:
- Karena anda tidak pernah berhenti berusaha mendekat kepada Tuhan
- Karena bagaimanapun rusaknya manusia Indonesia, mayoritas dari masyarakat kita tetap menjaga keluarga dan rumah tangganya masing-masing. “Bagaimanapun jahatnya seseorang, ia tetap baik-baik dengan keluarganya”, kata Cak Nun.
“Kita
berkumpul di sini seperti ini adalah salah satu bukti bahwa kita selalu tidak
berhenti mendekat kepada Tuhan. Kenapa kita berkumpul seperti ini? Saya yakin
anda semua bertujuan di antaranya adalah agar terjalin persaudaraan sesama
kita. Ini juga terjadi di banyak tempat di Indonesia yang saya yakin hal
seperti ini tidak akan terjadi di tempat lain di dunia orang berkumpul sebanyak
ini, kecuali di Indonesia. Maka dari itu jika pada suatu hari nanti ada sesuatu
yang besar yang akan terjadi di dunia, bangsa Indonesialah yang akan jadi
penyelamatnya, ” Cak Nun mengungkapkan keyakinannya.
Dengan
mengajak hadirin memperhatikan bentuk morfologi kepulauan Indonesia, Cak Nun
berujar bahwa Indonesia adalah suatu tempat yang memang telah dipersiapkan
sebagai “kapal Nuh” yang akan sanggup menampung sangat banyak keberbedaan di
dunia ini melalui tata kelola sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
pergesekan dan hidup dalam keselarasan. Maka dari itu sekali lagi Cak Nun
menegaskan agar kita belajar sejarah sehingga menumbuhkan pengertian,
pengetahuan dan kesadaran bahwa kita adalah bangsa besar. “Kita harus percaya
diri bahwa kita adalah bangsa besar”, Cak Nun menandaskan.
Dalam
kesempatan ini, Cak Nun mempersilahkan beberapa orang santri dari pondok
pesantren di sekitar Surakarta untuk melantunkan sholawat bersama-sama hadirin.
Tak ketinggalan pula, dua orang Ibu-ibu yang hadir juga dipersilahkan Cak Nun
maju ke depan dan bersama-sama seluruh jama’ah yang hadir menyanyikan lagu Tombo
Ati. Peringatan Isra’ Mi’raj malam itu semakin lengkap keindahannya karena
Mbak Novia Kolopaking juga hadir dan menghibur hadirin dengan lantunan suara
merdunya.
Pada bagian
akhir acara, Cak Nun menegaskan kepada para jama’ah bahwa sorga itu tidak
mencari orang yang mencari sorga, tapi surga mencari orang yang mencari Tuhan.
Meneruskan paparannya, Cak Nun mengilustrasikan dengan cerita mengenai 2 orang
penghuni surga yang oleh Tuhan dipanggil untuk dimintai keterangan tentang
musabab mereka masuk neraka. Setelah keduanya disuruh balik, ternyata karena 2
penghuni neraka ini sama-sama berprasangka baik dan bersuka ria dengan perintah
Tuhan, maka akhirnya Tuhan memasukkannya ke surga. Ini sekedar ilustrasi tapi
mengandung pengertian bahwa setidak-tidaknya kita bisa menjalankan 2 hal untuk
mencapai rahmat dan karunia Tuhan, yaitu selalu berprsangka baik kepada
kehendak Tuhan dan senang hati melakukan perintah-Nya.
Dengan
demikian, lanjut Cak Nun, kita seharusnya semakin waktu harus makin dewasa
sebagai ummat beragama. Seyogyanya, adanya perbedaan di antara kita disikapi
secara wajar dan selalu menyediakan diri untuk berlapang jiwa. “NU dan
Muhammadiyah adalah salah satu jembatan menuju Islamnya Nabi Muhammad, jangan
kita berselisih dan bertengkar karena “jembatan” itu”, Cak Nun mengumpamakan.
Yang paling penting menurut Cak Nun, Orang Islam harus memberi rasa aman kepada
siapa saja disekelilingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar