I
Dulu di sebuah dusun Gunung Kidul, ketika belum ada masjid, ketika agama
Islam belum terasa kehadirannya, kalau malam 1 Suro warga dusun ini melakukan
perjalanan. Yang penting berjalan jauh sampai pagi. Kemudian ada yang punya
pendapat, kalau hanya sekadar berjalan apa artinya? Sebaiknya, orang berjalan
malam 1 Suro mengelilingi desa. Berapa kali, tidak ada hitungannya, yang
penting berjalan dari tengah malam sampai pagi hari.
Ketika ekonomi warga dusun mulai membaik, mereka mengirim anak-anaknya
sekolah dan kuliah di kota. Mereka diharapkan juga belajar agama di kota.
Mereka belajar di sekolah, di meja kuliah dan di tempat kost atau asrama. Kalau
disitu ada masjid, mereka belajar agama di situ, atau mereka belajar dari ustadz
atau kiai yang banyak tinggal di kota.
Saat anak-anak muda selesai kuliah, ada yang bekerja di kota yang jauh, ada
yang memilih tetap tinggal didesa. Mereka yang sudah mendapat ilmu agama yang
lebih banyak dibanding orangtuanya, ketika pulang ke desa merasa memerlukan
masjid. Sebab kalau mau shalat Jum’at, atau tarawih harus berjalan jauh, ke
dusun lain atau ke desa lain. Waktu itu masjid masih amat langka. Mereka ingat
pada teman kuliah yang ada di kota, dan menceritakan keperluannya, yaitu ingin
membangun masjid.
Dengan sedikit modal dan banyak dialog, warga dusun ini mulai membangun
masjid. Ada sebidang tanah diwakafkan warga, dan warga siap mewakafkan kayu,
atap, bambu dan sebagainya. Mereka juga mewakafkan tenaga. Masjid berdiri,
beberapa warga pun shalat di masjid.
Waktu itu, orang shalat menjadi tontonan. Warga dusun yang tidak tahu atau
belum memiliki ilmu dan pengetahuan agama heran ada orang melakukan gerakan
shalat, yang sebelumnya membersihkan tangan, wajah dan kaki memakai air. Mereka
baru tahu kalau orang beragama Islam itu perlu wudlu, shalat atau sembahyang.
Tentu kalau ditanya, kebanyakan warga dusun itu menjawab beragama Islam.
Islam yang seperti apa, mereka tidak peduli. Tentu meski pengetahuan agama
mereka mendekati nol, tetapi pengalaman beragama mereka cukup banyak. Yaitu
pengalaman beragama yang mereka dapatkan melalui berbagai upacara adat di desa,
yang biasanya ada Pak Kaum berdoa, mendoakan keselamatan warga dusun. Bagi
warga dusun, waktu itu, mengatakan amin, saat Pak Kaum berdoa sudah merupakan
pengalaman beragama yang indah.
Pengalaman warga dusun itu juga mereka dapat ketika mereka berkesenian. Seni
shalawatan Jawi dan Mocopat shalawat. Leluhur desa itu mewarisi kitab kuno
berhruf Arab Pegon yang isinya lagu-lagu shalawatan kuno. Mereka juga
diwarisi seperangkat terbang. Bahkan ada satu dua warga dusun yang memiliki
pengalaman beragama ketika mendapat tugas untuk membuat terbang. Ia bekerja
sungguh-sungguh, memilih kulit ternak, dan memilih kayu serta menyiapkan pasak
atau pengikat kulit ternak agar mau melekat pada kayu. Kemudian dia menyetel
nada atau jenis suaranya. Setelah pas baru dipergunakan untuk latihan.
Tigapuluh tahun kemudian, masjid sederhana yang dulu dibangun bersama, telah
menjadi masjid yang megah untuk ukuran desa. Air selalu mengalir di tempat
wudlu, malam hari terang benderang karena lampu listrik, suara imam dan muadzin
terdengar sampai jauh karena ada pengeras suara. Ada tikar bersih sampai
halaman, ada sederet Al Qur’an dan buku untuk mengajian anak-anak.
Masjid ini menjadi pusat kehidupan ruhani warga dusun. Pak Kaum yang
pendatang dari kabupaten lain, dengan tekun dan khusyuk membimbing warga dusun.
Orang pun mau berduyun-duyun ke masjid. Laki-laki, perempuan, anak-anak. Orang
yang dulu nonton orang lain bersembahyang kini ikut bersembahyang di dalam
masjid. Upacara memperingati hari besar Islam pun dilakukan di masjid. Termasuk
upacara memperingati Tahun Baru Jawa/Islam 1 Suro/1 Muharam.
Upacara memperingati 1 Suro atau upacara menyambut datangnya tahun baru
dilakukan sejak sore. Sebelum pukul 17.00 semua warga dusun, laki-laki,
perempuan, anak-anak berkumpul di masjid. Mereka telah shalat Asyar. Pak Kaum
kemduan membimbing warga dusun untuk membaca doa tutup tahun, doa keselamatan
agar selama ini mereka diampuni dosanya dan mendapat berkah dan rahmat dari
Tuhan. Doa tutup tahun berlangsung sampai menjelang Maghrib.
Setelah berjamaah shalat Maghrib, lalu semua membaca doa datangnya tahun
baru. Sebab menurut perhitungan Pak Kaum, datangnya bulan Qomariyah dihitung
setelah datangnya Maghrib. Semua lalu berdzikir bersama dalam rangkaian wiridan
panjang.
Setelah shalat Isya’, dilanjut dengan melaksanakan shalat hajat, dan shalat
tasbih. Lalu ditutup dengan doa panjang bersama. Acara di masjid pun selesai.
Jam-jam dan detik-detik penuh teks agama dalam bentuk lafal doa berbahasa Arab
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa pun usai. Hadirin pulang ke
rumah masing-masing. Karena tadi mereka barusan melewati waktu yang
mendebarkan, momentum pergantian tanggal, bulan dan tahun dengan penuh doa,
maka harapan pun tampak memancar dari wajah mereka.
Kegiatan menyambut 1 Suro masih belum rampung. Bagi kasepuhan atau para
bapak-bapak masih ada kegiatan. Yaitu menabuh terbang, melantunkan shalawat
Jawi peninggalan leluhur dusun dulu. Ajaran agama dan nilai agama yang dikemas
dalam bentuk musik tradisional ini diam-diam merasuk dalam jiwa-jiwa warga
dusun. Menyayu dengan nilai-nilai budaya Jawa yang lembut.
Sekitar pukul 20,00 malam, ketika bapak-bapak sudah berkumpul, kegiatan pun
dimulai. Pak Dalang, menjelaskan tentang maksud kegiatan ini. Ini merupakan
bagian dari apa yang tadi dilaksanakan di masjid. Kalau di masjid yang memimpin
upacara adalah Pak Kaum, maka penabuhan dan pelantunan shalawat Jawi ini yang
memimpin adalah Pak Dalang.
Mereka sudah hafal lagunya. Hafal ketukan terbanganya. Untuk mengontrol,
atau agar ada kendali lagu, ada dua buku yang dibawa Pak Dalang. Satu buku
shalawatan Jawi berasal dari teks bertulisan Arab Pegon. Buku kedua,
tentang Mocopatan Slawatan Jawi. Kalau semua ini buku ini dibaca dan
dilantunkan, bisa memakan waktu lebih dari dua malam. Maka, untuk malam itu
dipilih beberapa lagu, yang kalau dibaca akan sampai waktu jam 04.00 pagi
mencukupi.
Dari kenyataan di atas, terasa sekali kalau agama dan warga dusun dalam
beragama selama ini mengalir begitu saja. Mengalir dengan pelan, indah,
tahu-tahu mereka sudah dapat beragama dengan pengertian yang memadai dan
lengkap. Masjid menjadi pusat kegiatan agama dan budaya berbasis ajaran agama.
Menjadi tempat shalat jamaah, Jum’atan, riyoyo, kumpul-kumpul dan
menjadi tempat menyembelih hewan Qurban, membagi daging Qurban dan sebagainya.
Masjid yang semula sederhana berdinding bambu, kini tumbuh menjadi masjid
bangunan dari batu bata bagus, dan tetap menjadi pusat kebaikan, dimana
kebaikan yang bersumber dari ajaran dan nilai Islam memancar dari sini, ke
segala penjuru dusun dan desa. Apalagi masjid ini telah punya payung kegiatan
dan payung hukum berupa Yayasan Al Ghomamah.
II
Perjalanan masyarakat, masjid, kegiatan dan lembaga keagamaan warga sebuah
dusun di Gunungkidul yang terekam di atas adalah perjalanan transformasi dalam
beragama. Untuk menjadi yang seperti sekarang ini, diperlukan waktu sekitar
tigapuluh tahun. Ada proses yang terus-menerus untuk menjadi dan mengada dalam
beragama.
Melihat, menyaksikan dan menghayati perjalanan transformasi dalam beragama
sungguh mengasyikkan. Sebab ternyata metode transformasi yang dipraktikkan oleh
para wali sekarang masih banyak yang melanjutkan. Para muballigh dan dai atau
pemimpin agama di tingkat dusun dan desa yang penampulannya biasa-biasa sering
memegang kendali transformasi dalam beragama.
Sebagai perbandingan, limapuluh tahun lalu masyarakat Kotagede, khususnya
kampung saya masih penuh dengan ajaran dan praktik budaya Jawa, yang dicampur
dengan Islam. Jawa banget dan sekaligus terasa Islam banget.
Kegiatan upacara atau ritual siklus kehidupan, berupa kelahiran, perkawinan dan
kematian, betul-betul diwarnai dengan bunga, kemenyan, aneka macam bancakan,
doa-doa Jawa campur Islam. Demikian juga kegiatan ritual membangun rumah dan
memperingati atau menandai siklus tahunan ketika melewati bulan-bulan
Jawa/Islam. Bulan Ruwah masih ada ketan, kolak apem dan ada nyadran
di surau-surau atau di rumah yang ditunjuk.
Saat itu, agama masih terasa hadir di rumah-rumah. Sebab rumah-rumah warga,
secara bergiliran dipakai untuk shalat tarawih, pengajian dan sebagainya.
Masjid baru ada dua atau tiga. Langgar atau surau masih belum diorganisir
seperti sekarang.
Waktu itu ayah saya bilang, bahwa yang terjadi di kampung ini sudah
merupakan kemajuan dibanding dengan ketika kakek dari ayah bersama teman-teman
lulusan pesantren masuk Kotagede dan melakukan Islamisasi dan mendapat
tentangan hebat dari orang-orang Kejawen. Mereka melawan dengan mengirim
komentar miring terhadap ajaran dan praktik berislam. Kata ayah, kakeknya
bersama teman-temannya dengan sabar membimbing masyarakat sehingga mau
melakukan transformasi beragama sedikit demi sedikit. Ajaran dan nilai Islam
diterima secara meluas di masyarakat.
Apa yang saya saksikan di Gunung Kidul, juga di tempat-tempat lain, ketika
ajaran dan budaya Islam bersama-sama ajaran dan budaya berproses dengan lembut
sampai kemudian muncul kehidupan beragama yang seperti sekarang, lima puluh
tahun lalu saya saksikan di Kotagede.
Sekarang ketika Kotagede berubah dan kampung-kampung berubah, dengan
ditandai hadirnya 50 masjid lebih, dan sekian puluh TPA dan makin
terorganisasikannya kegiatan beragama, ini menujukkan kalau di Kotagede masih
terjadi proses transformasi itu. Betapa pun gencar dan hebatnya proses
transiofmasi berbaju modernisasi yang terjadi di Kotagede, masih ada nilai
dasar yang tetap bertahan.
Kehidupan sehari-hari masyarakatnya masih bersifat komunal. Ini penting untuk
dicatat. Nilai srawung (silaturahmi) masih menjadi acuan tertinggi
masyarakatnya. Untuk menjaga garis nasab atau jaringan keluarga agar tidak
cerai berai, maka warga Kotagede pun banyak yang mengadakan pertemuan Bani atau
Trah pada bulan Syawal atau Muharam. Disitu seseorang merasa bagian
dari keluarga besar, dan keluarga besar ini terasa menjadi bagian dari keluarga
yang yang lebih besar lagi, yaitu masyarakat Kotagede.
Dengan menyadari semua itu saya pun makin sadar bahwa, ketika saya berusaha
makin Islam, maka di Kotagede jusru saya ketemu kenyataan bahwa saya makin
menjadi Jawa. Demikian juga sebaliknya, ketika saya ingin menukik makin menjadi
Jawa, yang saya temukan saya justru semakin Islam. Ini menandakan kalau leluhur
kita dulu dalam menanamkan nilai-nilai Islam dan dikawinkan dengan nilai-nalai
Jawa betul-betul dalam, mendalam dan sampai ke jantung semesta budaya
masyarakat.
Sekali lagi, semua ini juga merupakan hasil dari stratregi transformasi yang
ramah, halus, santun dan mirip ucara campur air yang terus terasa membasahi
kehidupan kita. dan dalam konteks ini, Gunung Kidul dan Kotagede adalah sama,
meski tidak persis dan tidak ada dapat diklaim lebih maju dan lebih baik, semua
sama-sama maju dan baik untuk dirinya sendiri. Tentang mana yang benar? Mari
kita kaji bersama-sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar