Presiden kita berikutnya jangan asal Presiden. Pemimpin nasional kita
sebentar lagi jangan sembarang pemimpin. Lebih selamat kalau rakyat
mencari pemimpin, bukan menunggu orang-orang yang menyodorkan dirinya
untuk menjadi pemimpin. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan kalau bisa
mulai belajar untuk tidak meneruskan tradisi kelalaian membiarkan
dirinya dipimpin oleh “pemimpin setoran” dari perusahaan-perusahaan
politik.
Apalagi kalau yang setor adalah parpol. Sebab Parpol tidak
punya keperluan terhadap pemimpin sejati. Ekspertasi parpol adalah
mencari laba, fokusnya dalam hal kepemimpinan adalah tawar menawar dan
mengambil mana yang paling menguntungkan perusahaannya.
Kalau
konstitusi dan undang-undang tidak memungkinkan rakyat mencari pemimpin
sendiri, berarti undang-undangnya dibikin tidak berlandaskan kejernihan
ilmu, kejujuran demokrasi dan jiwa kasih sayang kepada rakyat.
Saya
tidak percaya bangsa Indonesia memang hobi masuk ranjau, sehingga
menjalani sejarah dengan gairah sakit jiwa mencari ranjau-ranjau baru.
Mungkin karena penderitaan dan ketertindasan sudah menjadi narkoba
psikologi dan budaya mereka.
Usia rata-rata penduduk Indonesia
adalah 27,5 tahun. Anak-anak muda adalah penduduk mayoritas. Mereka
sangat potensial untuk tidak mempermudah jalan bagi siapapun untuk
menjadi Presiden. Kriteria dan syarat-rukunnya wajib dilipat-gandakan
dibanding presiden-presiden sebelumnya. Ini Negara besar dengan problema
sangat besar. Ini bangsa besar dengan ujian yang luar biasa besar. Ini
tanah air kaya raya dengan kesembronoan pengelolaan yang sangat
melampaui batas. Ini kepulauan raksasa dihuni oleh manusia-manusia
spesifik, prolifik dan multi-talent, namun sedang berada di titik nadir
ketidakpercayaan diri. Ini Garuda, sedang mabuk jadi Emprit.
Calon
pemimpin tidak sekedar diuji integritas moralnya, kematangan
proffesionalnya, kredibilitas ekspertasinya, visi masa depannya,
akurasinya dalam menemukan segala sesuatu yang bermanfaat bagi
rakyatnya, keberaniannya mengambil resiko pribadi untuk keperluan
rakyatnya, serta berbagai parameter lainnya yang dikenal oleh pemikiran
kenegaraan modern.
Kalau pakai common-sense, Presiden dan
Pemerintah memiliki mental berani tidak makan sebelum rakyatnya kenyang.
Ibarat kepala keluarga, kalau ada kenduri, ia makan terakhir. Kalau ada
kebakaran, semua anggota keluarga ia upayakan keluar rumah duluan.
Ibarat kantor, Presiden adalah karyawan rakyat yang datang paling awal
dan pulang paling akhir. Presiden siap menjadi orang paling sedih
dibanding semua orang.
Atau ambil wacana dari Agama: Presiden
adalah orang yang paling berat hatinya melihat penderitaan rakyatnya,
sementara ia tidak cengeng atas penderitaannya sendiri. Hatinya tidak
tegaan kepada nasib orang banyak. Kalau Malaikat mendadak datang
mencabut nyawanya, Presiden merintih: “Rakyatku… rakyatku… rakyatku…”,
bukan “Ibu…istriku…anakku….”
Adab sosial Bangsa Jawa menemukan idiom “manunggaling kawula lan Gusti”. Menyatunya hamba dengan Tuhan.
Bukan
hamba adalah rakyat, Presiden adalah Tuhan. Itu pemahaman manipulatif
untuk keperluan feodalisme budaya dan kekuasaan politik. “Manunggaling kawula lan Gusti” bukan rakyat harus mematuhi dan melaksanakan kehendak Presiden.
“Presiden”
itu suatu idiom di dalam bingkai konsep kenegaraan modern yang mengacu
pada ideologi demokrasi. Demokrasi menetapkan suatu kebenaran bahwa
tanah air dan lembaga Negara adalah hak milik rakyat. Seseorang diangkat
menjadi Presiden pada posisi dimandati, dipinjami atau diamanati
sebagian kedaulatan dalam batas ruang dan selama waktu tertentu. Maka
tafsir feodal “menyatunya hamba dengan Tuhan” tidak bisa dipinjam oleh
pemikiran demokrasi untuk mengabsolutkan kekuasaan Presiden.
Mungkin
sebagian Raja di masa lalu memperdaya rakyatnya dengan penafsiran yang
disebarkan bahwa rakyat adalah “kawula” dan Raja adalah “Gusti”. Tetapi
sejak Sunan Kalijaga di abad 14-16 M menginnovasikan penghadiran Semar
di dalam peta kekuasaan Kerajaan-kerajaan yang dikenali masyarakat
melalui Wayang, struktur hubungan vertikal hamba-Gusti rakyat-Raja
direlatifkan oleh adanya Semar.
Semar adalah rakyat biasa, Ki
Lurah Semar Bodronoyo di sebuah dusun bernama Karang Kedempel. Pada saat
yang sama beliau adalah Panembahan Ismaya. Dewa yang posisinya sangat
tinggi, paling senior, di atasnya Bathara Guru Presidennya Jagat Raya.
Di atas Semar langsung adalah Sang Hyang Widhi (istilah Arabnya “Ilahi”) atau Sang Hyang Wenang (“Robbi”), yakni yang di segala zaman dikenal sebagai Tuhan itu sendiri dengan sebutan bermacam-macam.
Dengan
adanya Semar struktur kedaulatan vertikal dilengkungkan menjadi
bulatan. Kekuasaan itu siklikal. Semar ada di titik tertinggi di bawah
Tuhan, sekaligus di titik terendah bersama rakyat jelata. Dua titik itu
satu, sehingga garis lurus vertikal itu menjadi bulatan. Sangat indah
Sunan Kalijaga mendisain demokrasi.
Maka tafsir “manunggaling kawula lan Gusti” yang saya sebarkan beberapa tahun belakangan ini adalah bahwa di dalam diri seorang Presiden, “kawula” dengan “Gusti” itu “manunggal”.
Di dalam entitas tugas kepresidenan, rakyat dengan Tuhan menyatu. Di
dalam dada dan kepala Presiden, rakyatnya dengan Tuhannya tidak bisa
dipisahkan. Kalau Presiden menindas rakyatnya, Tuhan sakit hati. Kalau
Presiden mengkhianati Tuhannya, rakyat turut tertimpa kehancuran karena
kemarahan Tuhan.
Isi kepala Presiden adalah kesibukan mesin
penyejahteraan rakyat, isi dadanya adalah “rasa bersalah” karena belum
maksimal bekerja, “rasa malu” karena belum berhasil seperti yang
seharusnya, serta “kerendahan hati” kepada Tuhan dan rakyatnya.
Maka
sejak semula ia tidak menawar-nawarkan diri, memasang gambar-gambar
wajahnya di sepanjang jalan, menyatakan “aku yang baik” — yang maknanya
adalah “selain aku tak ada yang baik”. Kata tukang-tukang becak di
Yogya: “bisa rumangsa, ora rumangsa bisa”: sanggup merasa tak
mampu, bukan mampu merasa “aku bisa”. Toh nanti rakyatnya akan memberi
“raport” kepada setiap Presidennya ia bisa ataukah ber-bisa. Orang yang
bilang “aku bisa” adalah orang yang tak percaya diri sehingga
memompa-mompa dan membisa-bisakan diri.
Sebenarnya agak
mengherankan bahwa, rakyat Jawa umpamanya, bisa sedemikian serius
kehilangan kearifan lokalnya, setelah mereka terseret memasuki model
aplikasi tipu-daya demokrasi untuk memilih pemimpin mereka. Seluruh cara
orang-orang yang mencalonkan diri menjadi Presiden, Dewan Perwakilan,
Gubernur, Bupati, Walikota hingga Lurah, tanpa terkecuali seluruhnya
sangat menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang “rumangsa bisa”. Nuansa budaya pencalonan dengan modus “rumangsa bisa” itu dipastikan akan membuat semua orang lain yang berkwalitas “bisa rumangsa”
akan minggir dari lapangan politik. Sehingga bisa dipastikan juga bahwa
hampir mustahil rakyat akan memperoleh pemimpin yang sebagaimana mereka
dambakan dari antara para pemamer wajah yang mutunya adalah “rumangsa bisa”.
Di
Masjid dan Mushalla manapun tidak ada orang bodoh tak tahu diri yang
berteriak “Ayo kalian berbaris makmum, saya yang paling pantas menjadi
Imam shalat kalian”. Dalam kehidupan manusia yang berakal, pemimpin
lahir dari apresiasi rakyatnya dan rakyat pulalah yang mendaulatnya
menjadi pemimpin. Kiai dan Ustadz menjadi Kiai dan Ustadz karena ummat
menemukan kesalehan mereka dan mengangkat mereka menjadi “Ki Hajar”,
tempat semua orang merujukkan persoalan. Kiai dan ustadz tidak lahir
dari pemilik modal dan pengarah acara televisi.
Kalau pakai
filosofi klasik, manusia ada empat: (1) orang yang mengerti dan mengerti
bahwa ia mengerti, (2) orang yang mengerti tapi tak mengerti bahwa ia
mengerti, (3) orang yang tak mengerti tapi ia mengerti bahwa ia tidak
mengerti, kemudian (4) orang yang tidak mengerti dan tak mengerti bahwa
ia tak mengerti — maka Presiden kita adalah manusia kategori pertama.
Kalau
pakai peta akademis, (1) orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal,
(2) orang yang tahu banyak tentang sedikit hal, (3) orang yang tahu
sedikit tentang banyak hal, kemudian (4) orang yang tahu banyak tentang
banyak hal – maka Presiden kita adalah manusia keempat.
Atau pakai
pakai pendekatan “intel” : (1) ada sesuatu yang seseorang tahu dan
masyarakat tahu, (2) ada sesuatu yang seseorang tahu tapi masyarakat
tidak atau belum tahu, (3) ada sesuatu yang masyarakat tahu tapi
seseorang itu tidak atau belum tahu, kemudian (4) ada sesuatu yang
seseorang maupun masyarakat tidak atau belum tahu — maka yang keempat
inilah Presiden kita nanti.
Ia bukan hanya Presiden suatu Negara,
tapi juga pemimpin suatu masyarakat, guru suatu bangsa. Presiden berdiri
sendirian memandang sesuatu yang semua orang dan ia sendiri belum tahu.
Tugasnya sebagai Presiden adalah mencari tahu. Ia berdiri paling depan
menembus kegelapan, untuk menemukan cahaya.
Presiden menjadi
Presiden karena ia punya kesanggupan akal, stamina mental, keluasan
hati, kesabaran rohani serta kekompakan frekwensi dengan seluruh unsur
jagat raya — untuk membawa “oleh-oleh” kepada rakyatnya sesuatu yang
sebelumnya rakyat belum tahu sehingga belum pernah merasakan. Salah satu
hal yang Presiden perlu cari tahu adalah: untuk Indonesia yang hancur
lebur sekarang ini, ia wajib berani mati, misalnya beberapa minggu atau
bulan sesudah dilantik.
Presiden adalah orang yang paling berani
bergerak meringsek masa depan yang gelap. Ia melindungi rakyatnya yang
tidak tahu, ia berperang melawan ketidak-tahuannya, kemudian ia
memenangkan peperangan itu dan menghasilkan sebuah pengetahuan yang baru
sama sekali, yang belum pernah ditemukan oleh siapapun sebelumnya.
Presiden adalah “pengarep”, perintis, pelopor, ujung tombak sejarah,
yang siap sirna ditelan resiko perjuangan dalam gelap mencari cahaya.
Presiden
adalah pengambil keputusan pertama dan utama untuk melangkahkan kaki
menapaki kegelapan. Sebab manusia itu hidup dulu baru mengerti, bukan
mengerti dulu baru hidup.
Di bawah ubun-ubun kepala Presiden
terdapat “chips” penerima dan pengolah cahaya. Daya serap dan daya olah
cahaya itu mensifati pandangan matanya, pendengaran telinganya, struktur
urat sarafnya, modulasi kuda-kuda jasad dan ruhaninya dengan “badan
besar” alam semesta. Maka dari telapak tangannya memancar cahaya.
Dengan suluh cahaya telapak tangan ilmu itu ia menapaki kegelapan. Ya. Masa depan itu gelap. “Aku”, kata Tuhan, “memperjalankan hamba-hambaKu menembus kegelapan malam hari”. Hidup adalah malam hari, karena “sekarang” sesungguhnya tak ada. Tatkala engkau berada di “se”, tiba-tiba sudah “ka”. Dan tatkala engkau tiba di “ka”, “se” sudah masa silam yang “tiada”, sementara “rang” adalah masa depan yang engkau tak tahu apa-apa.
Jika
engkau melembut, waktu tampak olehmu. Jika engkau meregang membesar,
engkau paham kebesaran ruang, keluasan dan ketidak-terbatasannya tak
terjangkau olehmu. Maka kuda-kuda terbaik bagi setiap makhluk, apalagi
manusia, adalah kerendahan hati. Itulah ‘kesadaran debu’.
Tak bisa kau tempuh gelapnya “rang”
dengan modal “merasa bisa”. Hari siangpun gelap. Sebab matahari bukan
benar-benar bercahaya sebagaimana yang ilmu memerlukan. Matahari hanya
mengantarkan kesadaran tentang cahaya. Orang menanam tak tahu panennya,
orang berjualan tak tahu berapa calon pembelinya. Orang lahir tak tahu
matinya. Pada interval antara diri mereka dengan titik ketidak-tahuan
itu terdapat bentangan nasib, mungkin ada sejumlah Malaikat
berseliweran, Dewa Nasib, makhluk distributor “pulung”, atau apapun namanya.
Mungkin
itulah sebabnya Tuhan memberi tuntunan melalui salah satu sifat-Nya
sendiri: kalau mau jadi Presiden, pertama sekali kamu harus “mempelajari
kegaiban, dan menyaksikannya”. ‘Alimul-ghaibi was-syahadah.
Kognitif dan empiris. Kegaiban yang paling utama adalah rahasia hati
rakyatmu. Justru karena itu maka sesungguhnya cahaya itu terletak di
kandungan hati nurani rakyatmu.
Sebagai Presiden kau menggenggam
suluh cahaya. Kau tak punya kemungkinan lain pada posisi itu kecuali
melimpah-limpahkan kasih sayangmu kepada rakyatmu. Engkau menjadi kabel
yang dilewati arus listrik “Rahman”, cinta yang meluas, serta “Rahim”,
cinta yang mendalam, sampai 12 tingkat frekwensi perjuangan
kepresidenanmu. Atau sesekali tengok Ronggowarsito: pemimpinmu berikut
ini adalah “Satria Pinandita Sinisihan Wahyu”. Pendekar ilmu
dan managemen, yang hatinya sudah selesai dari nafsu keduniaan,
dibimbing “pendaran-pendaran gelombang elektromagnetik” hidayah Tuhan di
ubun-ubunnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar