Siapa tahu ada manfaatnya kisah tentang Gundul Pacul ini bagi Anda.
Ketika grup musik KK (Kiai Kanjeng, red) pentas keliling lima kota Mesir
— Cairo, Alexandria, El-Fayoum, Tanta dan Ismailia — nomer-nomer lagu Ummi
Kultsum panitia mempersoalkan kenapa saya tidak selalu tampil pentas,
padahal nama saya sudah terlanjur diumumkan di setiap pemberitaan, spanduk dan
katalog, terbata-bata saya menjawab: “Karena saya lebih lancar berbicara bahasa
Inggris dibanding bahasa Arab”. Dan ketika KK pentas di Australia, Melbourne, Canberra,
Sydney dan Adelaide, pertanyaan yang sama nongol lagi dan saya menjawab: karena
saya lebih lancar berbahasa Arab dibanding bahasa Inggris”.
Sebagai penganggur saya sering dolan ke toko komputer atau mobile-phone
(HP) untuk iseng-iseng belajar ikut nyervis. Itu kebiasaan saya sudah hampir 20
tahun. Selama berada di tempat servis itu saya berkata atau setidaknya saya
ciptakan kesan kepada setiap teman di sana dan diam-diam kepada diri saya
sendiri : “Saya sangat sibuk, acara saya sangat padat dan semua urusan besar,
sehingga kalau ada luang waktu saya pergi ke sini agar hidup saya ada variasi.
Juga tak baik selalu mengurusi masalah nasional, ada segarnya jika diselingi
mengurusi masalah lokal”. Nanti kalau saya sudah berada di rumah, saya tipu
diri saya sendiri dengan memaksanya percaya bahwa: “Hari ini saya sudah sangat
sibuk melakukan kegiatan yang kelihatannya kecil dan remeh, namun sesungguhnya
itu fenomenologis, avant gard dan sekian langkah lebih kontemporer
dibanding kebanyakan orang. Wakil Presiden atau anggota DPR saja kesana kemari
bawa communicator tapi ngertinya paling pol cuma menelpon, kirim SMS dan
menggunakan Word”. Saya adalah penghuni utama era peradaban informasi
dan komunikasi. Saya rekannya Bill Gate dan komunitas perkebunan Nokia”.
Alasan yang sesungguhnya jelas: kalau berteman dengan orang komputer dan HP,
kalau beli dikasih murah. Alasan yang nyata dari kenapa saya tidak tampil
dengan KK di Mesir dan Aussie sudah dimafhumi semua orang bahwa saya memang
tidak becus bermusik, tak bisa nyanyi, apalagi memetik gitar atau sekedar
memukul saronpun. Tetapi toh saya cukup pandai untuk berlagak: setiap kali KK
mendapatkan a long standing ovation, tepuk tangan panjang sambil
berdiri dan meminta persembahan dilanjutkan — saya sigap berlari ke panggung
dan ikut berbaris dengan KK.
Orang yang tak punya peran harus pintar-pintar “caper” (cari
perhatian). Kalau artis atau Menteri diwawancarai di tengah keramaian, Anda
harus segera menerobos untuk menongolkan wajah Anda di kiri-kanan Menteri agar
tampak di kamera. Setelah itu kalau ada wartawan terjebak jalan sesat dengan
mewawancarai Anda, perlu Anda susun kalimat-kalimat yang menimbulkan kesan
bahwa seluruh prestasi itu bermula dari tangan jenius Anda. Hindarkan kejaran
cerdas wartawan yang mau bukti, terus cocor saja image self building
diri dikau. Kita sedang hidup di tengah “masyarakat kesan”, di tengah “bangsa
kayaknya”, The Image Society, bukan masyarakat realitas. Kita memilih
presiden berdasarkan kesan, bukan pemahaman tentang kenyataan. Kita juga bisa
“membunuh” orang lain yang tak pernah berususan dengan kita cukup dengan
membangun kesan tentang dia dalam hati kita sepanjang hidup. Mampuslah dia.
Dan di toko-toko komputer dan mobile-phone itu realitas yang
sebenarnya adalah bahwa saya seorang penganggur, dan terus tetap penganggur
sampai usia lewat setengah abad sekarang ini. Tetapi penganggur jangan berpuas
diri sebagai penganggur. Penganggur harus punya lagak. Rugi kalau Anda
menganggur lantas tampil rendah diri. Bodoh kalau Anda miskin lantas hati
bersedih dan kalau berjalan tidak tegak dan wajah tidak menunjukkan kepercayaan
diri. Sudahlah miskin, minder dan merasa sengsara pula. Yang terbaik bagi orang
miskin yang penganggur adalah fenomena sikap “gemlelengan”, atau bahasa
jalanannya “cengengesan”. Jadi, sampailah kita pada Gundul Pacul.
Gundul itu botak. Pacul itu cangkul. Tak ada kaitan literer antara gundul
dengan pacul dalam idiom Jawa gundul pacul. Itu peng-enak-an bunyi belaka. Tak
perlu ditafsirkan bahwa kepala kita menjadi botak sesudah dicangkuli oleh
tetangga. Paralel dengan istilah “uuwakehe suwidak jaran”, banyaknya
sampai 60 kuda. Tak usah dihitung berdasar angka 60. Atau “malam seribu bulan”,
belum tentu pas kalau Lailatul Qodar Anda hitung melalui jumlah hari, jam,
menit dan detik dalam seribu bulan. Idiom Allah itu lebih bersifat kualitatif:
kara “seribu” menggambarkan hampir tak terbatasnya peluang pemaknaan di balik
idiom itu. Juga bersifat dinamis, bergantung pada pola pergerakan hubungan
antara Tuhan dengan hamba-Nya.
Gundul Pacul mungkin menggambarkan karakterisasi anak, pemuda, atau manusia
tertentu — memalui mata pandang dan rasa budaya Jawa. Gundul pacul adalah anak
yang nakal pol, mblunat, mbethik, mbeling, susah diatur, berlaku
seenaknya sendiri. Main sana main sini, teriak sana teriak sini, ambil makanan
siapa saja di meja senafsu-nafsu dia, pergi ke sungai dan mandi bluron
sampai kulitnya bersisik, lomba lari mengejar layang-layang putus sambil
mengusap ingus. Intinya: punya bakat dan naluri anarkisme yang serius.
Di Arab jaman dahulu ada seorang pemuda bernama Nuaim yang heboh benar
gundul paculnya. Tak ada kata Ibu Bapaknya kecuali ia bantah. Tak ada larangan
orangtuanya kecuali ia langgar. Tak ada perintah mereka berdua atau bahkan
siapapun kecuali ia tabrak. Pada suatu hari Bapaknya melihat Nuaim berjalan
jauh ke tengah padang pasir. Bapaknya yang sangat berpengalaman tahu persis
anaknya sedang ditunggu bahaya besar. Kalau Nuaim teruskan berjalan karah itu,
ia akan ditipu oleh fatamorgana sehingga beberapa langkah kemudian ia akan
terjerumus masuk pasir bergelombang dan ditelan bumi tanpa bekas.
Betapa gundul paculpun putranya, sang Bapak tetaplah mencintainya. Maka
Bapaknya berteriak: “Nuaiiiim! Teruuuuus! Teruuuus!”. Itu adalah sebuah metode
empirikal berdasarkan pengalaman atas watak anaknya. Kalau dibilang “Stop”,
maka ia akan terus, sehingga agar ia stop harus dibilang “Teruuuus!”. Akan
tetapi subhanallah Nuaim siang itu mendapat hidayah dari Allah swt. Tiba-tiba
ia bergumam dalam hati: “Ya Allah ampunilah kenakalanku yang selalu membantah
dan menyakiti hati orang tuaku. Setidaknya satu kali ini perkenankan aku
mematuhi perintah Bapakku”.
Anda tidak memerlukan keterangan lebih lanjut untuk mengetahui apa yang
kemudian terjadi pada Nuaim. Dendangkanlah saja lagu kuno itu: “Gundul
gundul pacul cul, gemelelengan….”. Nakal tapi sok benar. Tak mau belajar
tapi sok pandai. Kelakuannya seenaknya tapi sok suci. Tak punya apa-apa tapi
gemelelengan, berlagak, petentang-petenteng. Tak becus menjadi
pemerintah tapi tak punya rasa malu. Tak mampu berbuat apa-apa, bahkan menyusun
kalimat sajapun tak lancar, tapi wajahnya tegak dan malah merasa bangga – itu
persis saya yang tidak ikut pentas tapi nyerobot ikut menyongsong standing
ovation di panggung pertunjukan.
Sudah terbukti tak punya kemampuan managerial mengurusi ummat, tapi merasa
pantas dicium tangannnya. Sudah jelas kerjanya hanya berkonsentrasi menghimpun
sogokan-sogokan uang, tapi tetap meyakini bahwa dirinya ada wakil rakyat. Sudah
jelas bahwa pejabat itu buruhnya rakyat, malah berperilaku seakan-akan ia
boss-nya rakyat. Sudah dilalapnya gaji dari uang rakyat, ditambah uang curian
ribuan kali lipat gajinya, tetap saja tidak mau tahu bahwa yang menggaji adalah
boss, yang digaji adalah buruh. Sudah jelas rakyat mau berkorban membiayai
triyunan rupiah untuk institusi yang kerjanya adalah menghimpun kekayaan
pribadi dan memecah belah rakyat, tetap saja mereka tidak pernah mengakui bahwa
hidupnya telah salah niat dan berpikiran sesat.
Yang seharusnya butuh belajar, malas belajar. Yang rajin belajar, keliru
memilih apa yang dipelajari. Yang tak salah menemukan sesuatu yang dipelajari,
salah caranya mempelajari. Yang jelas-jelas maling puluhan tahun
dijunjung-junjung, dibukakan akses dan ekspose. Yang tak ikut apa-apa, yang
mencari makan sendiri di liang-liang tikus di hutan rimba, malah dipentaskan
sebagai maling nasional, dan itu diumumkan setiap siang dan malam, minimal di
ruang-ruang dalam hati masing-masing. Sungguh ada perbedaan sangat serius,
mendalam dan ideologis antara Indonesia Karangan alias Indonesia Kesan, dengan
Indonesia Kenyataan. Memilih lagu yang sehat saja kita tak becus, bagaimana
memilih Presiden.
Yang tak benar-benar mengerti Agama, sangat canggih memperdagangkan Agama.
Yang mengerti Agama malah bersedia menjadi budak dari pedagang Agama. Yang
pelawak dan penyinden yakin bahwa merekalah presenter utama pekerjaan dakwah,
sementara yang kiai dan ulama bersedia menjadi pekatiknya pelawak dan penyinden
di lapangan dakwah. Yang baik moralnya, bodoh otaknya. Yang pandai akalnya,
jahat hatinya. Yang intelektual, tak mampu bekerja. Yang sanggup bekerja, tidak
pernah mau belajar. Yang berhasil menjadi manusia baik dan pandai, pengecut
mentalnya. Reformasi berlangsung sampai busuk sebusuk-busuknya sampai tak
terhitung jauhnya melampaui kebusukan-kebusukan yang pernah dicapai oleh
sejarah bangsa ini, tapi tak seorangpun siap ambil oper menanggung malu moral,
malu mental, malu intelektual, apalagi malu spiritual. Dasar gemelelengan!
Cengengesan!
Anda mengerti kalimat berikutnya dari lagu kuno itu: “Nyunggi nyunggi
wakul kul, gemelelengan….”. Nyunggi adalah membawa sesuatu dengan
meletakkannya di atas kepala. Yang di-sunggi adalah wakul. Bakul tempat
nasi. Nasi adalah amanat kesejahteraan rakyat, kepercayaan sangat mahal untuk
menciptakan masyarakat adil makmur. Bakul adalah otoritas, legalitas dan
legitimasi kepemerintahan, yang ditempuh dan dipersembahkan oleh rakyat dengan
biaya yang sangat mahal: uang raksasa jumlahnya, perpecahaan massa, nyawa-nyawa
melayang, kebodohan berkepanjangan dan ketidak-sungguhan hidup bernegara dan
berbangsa yang bertele-tele.
Bakul tempat nasi itu tak sekedar ditenteng dengan tangan, apalagi ditaruh dalam
rangsel di belakang punggung. Amanat itu sedemikian tinggi dan sakral maknanya
sehingga diletakkan diatas kepala. Ditaruh di lapisan harkat yang lebih tinggi
dari kepala individu kita sendiri. Diposisikan pada derajat yang lebih mulia
dibanding kepentingan diri sendiri, golongan dan apapun saja dalam skala
kehidupan berbangsa dan bernagara. Nyunggi wakul itu pekerjaan paling
mulia. Dan dalam pekerjaan nyunggi wakul itu tetap saja kita bertindak
gemelelengan. Tetap saja kita berlagak-lagak. Tidak sungguh-sungguh. Akting
sana akting sini. Palsu luar, palsu dalam. Fooling around.
Berbodoh-bodoh berdungu-dungu beriseng-iseng dulu, kemarin, hari ini dan besok.
Politik kita permainkan. Kesakralan kata “rakyat” kita manipulasikan. Moral dan
nurani kita remehkan. Agama kita akali. Tuhan kita tipu.
Akhirnya — “Wakul ngglimpang, segane dadi sak latar….”. Bakul amanat
kesejahteraan rakyat itu terjatuh dari kepala kita, tercampak di tanah, nasinya
tumpah dan berceceran di halaman negeri indah ini. Seharusnya padi ditumbuh-kembangkan,
nasi didistribusikan dalam keadilan. Tapi ini tumpah dan berceceran.
Tampaknya langkah kita sekarang adalah berteriak kepada “Nuaim” yang
berjalan menuju jurang: “Teruuuuus! Teruuus!”. Tapi mungkin ternyata Nuaim itu
adalah kita sendiri yang gundul pacul, fooling around, cengengesan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar