Menyambung tulisan yang lalu tentang postmodernisme, nampaknya menarik juga
untuk mengelaborasi pemikiran lama yang pernah dikemukakan oleh Ernest Gellner
dalam Postmodern, Reason, and Religion (1992) yang menyikapi secara
“kritis” postmodernisme dan agama. Ia menyebut tiga “situasi” penting yang
mempengaruhi format keagamaan, khususnya Islam. Ketiga situasi itu adalah: fundamentalisme
religius, fundamentalisme rasional, dan relativisme atau
postmodernism.
Gellner nampaknya agak “kurang adil” karena yang disorot adalah Islam saja,
itupun cenderung negatif, padahal fundamentalisme juga ada di setiap agama
apapun. Fundamentalisme Islam yang ia maksud ini digambarkan dalam karakter
yang keras, tidak akomodatif alias insklusif, dan kesemuanya berujung kepada
“keteguhan” kepada sesuatu yang absurd (mungkin puritanisme dan skriptularisme)
dan bukan hanya sekadar keyakinan terhadap suatu kebenaran atau dogma.
Selanjutnya fundamentalisme rasional ia gambarkan sebagai suatu keadaan yang
berbeda dengan pandangan postmodernisme yang mengingkari adanya kebenaran
tunggal. Relativisme rasional justru mempertahankan adanya kebenaran tunggal,
jadi sikapnya malahan absolutis dan menolak masyarakat akan memiliki pandangan
tunggal secara definitif. Dalam pandangan kaum postmo, agama harusnya bersifat
toleran terhadap pluralitas. Agama bukan sebuah sistem gagasan yang abstrak
melainkan terkait dengan adanya nilai-nilai filofsofis ilmiah dan tidak terpaut
dengan kepentingan ideologis belaka.
Sialnya, para pemikir Barat sering terpotong dalam memahami agama, terutama
Islam, dan mereka sendiri sering tidak konsisten dengan pernyataannya sendiri.
Mereka bicara soal pluralitas atau toleransi, namun dalam membahas Islam sering
tendensius dan tidak memahami terlebih dahulu “filosofi-filosofi” dasar teologi
Islam yang sesungguhnya. Islam sering dicitrakan dan dipahami sebagai biang
kekerasan, karena ada kepentingan yang terganggu jika Islam berkembang lebih
subur. Mereka jadi takut kepada Islam, dan sialnya bukan dari ajaran Islam itu
sendiri, namun dari tafsiran masing-masing kelompok.
Padahal Islam itu ya hanya satu, sebagaimana dibawa dan diajarkan oleh
Rasulullah Muhammad SAW. Konkretnya, Rasulullah tidak pernah kenal apa itu NU,
Muhammadiyah, HTI, FPI, LDII, dst, apalagi MTA. Silakan organisasi, aliran
atau mazhab itu hadir, namun Islam ya hanya satu, yakni Islamnya Muhammad SAW.
Apa itu? Ya mari kita cari bersama-sama.
Banyak orang berpikir rumit tentang Islam, padahal Islam itu simpel. Selain
mengajarkan hal-hal yang ghaib, Islam juga mengajarkan ilmu biologi, kimia,
fisika, astronomi, matematika, kebudayaan, lingkungan (bagaimana memperlakukan
sehelai rumput dan seekor semut), hukum ekonomi, etika jual beli (di pasar,
baik arti sempit atau luas), pemerintahan, demokrasi, etika sosial, bahkan
sampai etika bersenggama pun diajarkan. Anda menyingkirkan batu di jalan, ya
itu Islam. Anda mencangkul dan mengayuh becak sambil berucap Alhamdulillah
atau Allohu Akbar, ya itulah Islam. Islam bukan hanya berujud
dalam symbol seperti : peci, sorban, dahi hitam, tasbih, jubah, dst, namun
ajaran-ajaran konkret yang siapapun, pasti dapat melakukannya.
Ini tentu berbeda dengan pemikiran Gellner yang menggolongkan “Islam tinggi”
dan “Islam rendah”, yakni Islam yang dibawa oleh kaum cendekiawan dan orang
awam yang tidak berilmu (secara formal). Sekali lagi, untuk ber-Islam, tidak
harus ilmunya setinggi Gus Dur atau Cak Nur terlebih dahulu, namun siapapun
bisa menjalankannya. Soal fundamentalis, ya orang Islam harus
fundamental, artinya meyakini dan melaksanakan hal-hal yang fundamen (dasar),
yaitu ibadah mahdoh. Ibadah ini harus dipahami secara “fundamentalis”
karena ini tidak dapat ditawar lagi. Demikian juga masalah Iman
(rukun iman) juga harus dipahami dalam perspektif “fundamentalis”, dan
karenanya bagaimana mungkin sering ada tawaran untuk acara “dialog iman”? Iman kok
didialogkan, pasti tidak ketemu. Dalam istilah Cak Nun, agama (iman) itu ibarat
isteri yang tidak dapat diperbandingkan dan dipertukarkan.
Kalau demikian Islam kaku dan dogmatis? Ya jelas tidak karena yang harus
dipahami secara “fundamentalis” adalah ibadah mahdoh (yang Allah SWT
“hanya” minta 3,5 % di Al Qur’an), sebaliknya dalam “Fundamentalisme Rasional”
(sebagaimana dikatakan Gellner tsb), Islam sangat “welcome” terhadap
kreativitas berpikir alias dialektis, kritis, eksklusif, akomodatif, dst.
Bukankah kunci “rasionalitas” dalam Islam adalah sangat jelas, yakni iqro’
dan “berpikir”? Allah memerintahkan Muhammad dan kita untuk rajin iqro’
dan menantang manusia untuk selalu berpikir. Bukankah banyak ayat-ayat Allah
yang berbunyi: ….inilah tanda-tanda kebesaran Allah, terutama bagi mereka
yang mau berpikir….dst? Lalu kurang apa lagi ajaran ini?
Mengapa Allah menyuruh kita untuk rasional (menggunakan akal pikiran)?
Jawabnya jelas: manusia disuruh atau diperintah memanajemen bumi ini (sebagai khalifah).
Bagaimana seorang khalifah kok tidak cerdas (ahsanu taqwim)?
Allah selalu sharing dengan manusia. Allah bikin pohon, kita disuruh
bikin meja kursi. Allah bikin dan menyediakan bijih besi, manusia disuruh bikin
mobil, pesawat, kapal, dan sebagainya yang kesemuanya dapat digunakan juga
untuk ibadah mahdoh, misalnya pergi haji ke Mekah. Karenanya, selain
ibadah mahdoh, manusia atau umat Islam disuruh ijtihad dan
berpikir keras, dan itu semua bukan bid’ah meski Rasulullah tidak
melakukannya. Jika itu patokannya, maka kita tidak bisa pergi ke Mekkah naik
haji karena Rasulullah tidak pernah naik mobil, kapal atau pesawat.
Bagaimana jadinya dunia jika Islam hanya memerintahkan kita beribadah mahdoh
saja? Bagaimana jadinya jika Islam isi ayatNya hanya ngayem-ayemi dengan
janji-janji surga yang absurd atau menawarkan pertolongan keselamatan dan
khabar gembira saja? Pasti tidak akan tercipta mobil, pesawat, kapal, dan aneka
alat bantu lainnya yang memudahkan manusia untuk meringankan bebannya. Yang
penting kesemuanya harus kembali kepadaNya. Jadi ibadah horizontal (muamallah)
juga vertikal (tauhid), dan vertikal juga horizontal. Ilmuwan-ilmuwan
Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Rusy, dst,
adalah sederetan orang Islam yang sanggup mendialektikkan antara iqro’
dan berpikir untuk menjelaskan relasi antara manusia, alam dan Tuhan.
Kenyataan itu tentu berbeda dengan paham dualisme Cartesian dan mekanisme
Hobbesian yang mengantarkan masyarakat Barat menjadi anti Tuhan dan dekat ke
materialisme. Anti Tuhan itu bisa tidak percaya adanya Tuhan, percaya namun tidak
dengan sifat, janji, dan dzatNya, atau tidak percaya kepada Tuhan (bukan
“adanya” Tuhan). Dalam pandangan ini, tidak ada kaitan antara alam, manusia
dengan Tuhan, dan kalaupun ada, maka alam raya ini bagai jam raksasa yang
bekerja menurut gerak mesin oleh yang mahasuper (Tuhan), untuk selanjutnya
Tuhan “pensiun” atau lepas tangan, agar alam dan manusia bergerak sendiri dan
tidak memerlukan Tuhan.
Kalau ajaran Islam-nya Rasulullah itu kita laksanakan dengan “konsekuen dan
konsisten” (pinjam istilah di jaman Orba terkait P4), maka tentu tidak ada
ketegangan antara doktrin atau ajaran Islam dengan realitas dan perkembangan
sosial sebagaimana terjadi di berbagai belahan dunia seperti “qual al-qodim”
nya Imam Syafii di Irak atau “qaul al-jadid” yang dikembangkan di Mesir
(saya berharap Cak Nun bisa menjelaskan lebih jauh dalam tulisan khusus). Hal
ini terjadi karena Islam menawarkan dialektika dengan perubahan sosial, dan
karenanya kita dianjurkan iqro’, ijtihad, dan berpikir keras.
Islam adalah sistem nilai, dan realitas sosial adalah yang “disifati-nya”, jadi
tak ada masalah.
Singkatnya, apa yang mau ditawarkan Barat dengan ilmu-ilmunya itu, kalau
Islam sudah lama mengajarkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar