Minggu, 03 Februari 2013

Mengeja Cahaya

Pada perjalanan menghadiri Maiyahan akhir-akhir ini, saya banyak bertemu pelajaran-pelajaran penting melalui beberapa keadaan dan peristiwa yang aku lalui disepanjang perjalanan. Sebagai misalnya, di malam hari tanggal 12 April yang lalu ketika akan menghadiri maiyahan dalam rangka mengenang 100 tahun Hamengkubuwono IX di Pagelaran Keraton Jogjakarta, saya harus berhenti di tengah jalan sebab hujan teramat deras sehingga aku memutuskan untuk berteduh di sebuah warung sederhana yang telah tutup. Bersama seorang teman yang penggiat wayang kulit, kami menunggu hujan reda sambil menikmati kretek kegemaran dalam hawa dingin serta cuaca gelap yang menerbitkan keraguan pelan-pelan. Hari makin beranjak malam sementara hujan belum nampak akan segera mereda. Kami saling pandang membawa kebimbangan apakah akan meneruskan perjalanan ataukah pulang kembali ke rumah dan membatalkan perjalanan.

“Kalau begini cuacanya, bukankah lebih baik pulang saja? Mandi, ganti baju trus leyeh-leyeh sambil ngopi dan menghirup aroma kretek tentu akan sangat nyaman. Lagi pula kalau untuk mendatangi maiyahan kan lain hari juga bisa?” pikirku dalam hati. Aku coba minta pertimbangan kawanku, jawabannya malah menambah kebimbanganku. “Aku manut mawon, Mas….”, jawabnya dengan tangan bersedekap menghangatkan tubuhnya yang kecil itu.

Di tengah kebingungan mengambil keputusan itu, tiba-tiba sebuah sepeda motor menuju tempat kami berteduh. Seorang anak muda seusia kami turun dengan tubuh basah kuyup, tapi begitu turun dari motor ia tidak segera bergabung bersama kami mencari tempat kering untuk sekedar mengurangi hawa dingin. Ia sibuk dengan karung-karung di motornya. Dua karung ia talikan di jok belakang motor yang dikendarainya dan 1 karung ia taruh di depan jok. Sepertinya ia sedang menjada karung-karung itu agar aman dari air hujan yang masih cukup deras ini.

“Mau kemana, Mas? Jualan ya?” aku mencoba bertanya untuk beramah-tamah kepada pemuda itu.
“Mau pulang, Mas. Ini habis nyari bahan”, jawabnya sambil melepas jaketnya yang basah kuyup.
“Ohh, bahan apa to, Mas?” tanyaku.

“Ini, Mas, dari kulakan bulu, mau saya buat bikin shuttlecock“, katanya.
Seketika itu hatiku terasa ada yang berdesir melihat anak muda seusia kami yang begitu gigih dan serius dengan hidupnya ini. Hari itu ia menempuh perjalanan Solo-Ponorogo untuk mengumpulkan bulu dari para pedangang eceran. Kemarin katanya, ia malah sampai Trenggalek dan Kediri untuk keperluan yang sama. Ia menyusun sendiri aransemen hidup yang hendak dijalaninya tanpa ada guratan keluh kesah di wajahnya sedikit pun. Dengan bangga ia bercerita kepadaku bagamana ia berkeliling dari satu kota ke kota lainnya mencari bulu kemudian memprosesnya sedemikian rupa sebelum ia sendiri yang memproduksinya menjadi shuttlecock.

Tentu ada kasus yang lebih dramatis lagi dari sekadar apa yang dijalani anak muda ini, tapi dari satu “drama hidup” anak muda ini saja, sudah cukup membuat hatiku menyala. Ia terus bergerak untuk membangun diri dengan pekerjaannya. Secara substansial ia dan aku sama-sama sedang mencari sesuatu, kami sama-sama punya panggayuh dan ngudi suatu nilai tambah. Pada tataran praktis, ia mendapat uang, sementara aku memperoleh ilmu. Namun yang pasti di antara kedua gerak dan aktivitas itu harus diikuti oleh kemauan untuk “mengolah” agar ia berpotensi memberikan nilai tambah.

Kisah kedua yaitu dalam perjalananku menuju Macapat Syafa’at 17 April 2012 ini. Lagi-lagi aku dipertemukan dengan kasus yang serupa dengan kejadian pertama tadi. Bedanya, kali ini dia adalah seorang yang sudah cukup tua. Seorang lelaki usia 50-an dengan motor tua dan setumpuk sepeda onthel bekas yang diletakkan dalam “rengkek” yang ia pasang pada jok belakang motornya. Ia kumpulkan bangkai sepeda-sepeda onthel berbagai ukuran untuk ia perbaiki sedikit demi sedikit kemudian ia jual lagi kepada yang masih berminat. Ia memasuki usia senja. Ketika senja yang hujan dengan tanpa jas hujan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah semenjak pagi berkeliling ke pesisir selatan Jawa Timur. Aku menatap punggungnya yang mulai bongkok dan satu dua batuk kecil dari tenggorokannya. Ia pulang untuk menyapa anak istri yang telah menanti dengan segudang doa untuk rezeki yang ia punguti tanpa perasaan apapun kecuali hanya dengan cinta dan rasa setia.

Sampai di TKIT Al Hamdulillah tempat berlangsungnya Macapat Syafa’at, Mas Helmi telah berada diatas panggung bersama beberapa orang perwakilan Nahdhatul Muhammadiyin. Malam itu adalah Launching Jurnal Rahmatan Lil ‘Alamin yang diluncurkan oleh NM (Nahdhatul Muhammadiyin). Jurnal perdana “Rahmatan Lil ‘Alamin” yang di launching malam itu menghadirkan Pak Hardi dan Mbak Purwanti. Pak Hardi adalah pencetus gagasan “Jowone digowo, Arabe digarap”, sementara Mbak Purwanti yang seorang dosen itu merupakan salah seorang kontributor tulisan dalam jurnal Rahmatin Lil ‘Alamin edisi pertama kali ini.

Sebagaimana dituturkan oleh Pak Marzuki dari NM, bahwa jurnal tersebut adalah salah satu bentuk usaha untuk menghadirkan sebuah gagasan atau sebuah tema-tema keilmuan yang didasarkan pada pembacaaan terhadap realitas konkret yang sedang terjadi ditengah-tengah masyarakat kebanyakan disekitar kita. Dengan kata lain, jurnal yang dikelola oleh NM tersebut bisa dipahami sebagai semacam abstraksi atas sebuah pencermatan terhadap sepak terjang otentik dari manusia-manusia yang menghadapkan dirinya secara langsung dengan problem riil di masyarakat.

Misalnya tulisan Mbak Pur yang menceritakan pengalaman seorang kawan yang terjun dalam dunia pendidikan di wilayah-wilayah yang terpinggir, terpencil dan atau terkucilkan. Bahwa dari berbagai pengalaman itu didapat suatu benang merah, yaitu hal paling penting dalam upaya perbaikan mutu pendidikan adalah dengan senantiasa memperbaharui strategi dan “ideologi” pendidikan. Pendidikan itu nomer satu bukan soal dapat nilai berapa tapi lebih kepada pencapaian-pencapaian yang lebih mendasar dan substansial dalam diri seorang menusia, misalnya mengenai tumbuhnya kesadaran seorang manusia terhadap empati sosial, kuriositas, serta makin bertambahnya tingkat kedewasaan intelektual dan emosional seseorang.

Ada beberapa pertanyaan yang mengemuka dari para hadirin menanggapi beberapa artikel dalam jurnal NM edisi perdana itu, di antaranya tentang “pendidikan pragmatis” yang kian menggejala, bagaimana penjelasan “Arabe digarap, Jowone digowo”, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan itu ditampung oleh Mas Helmi untuk dijawab pada sesi selanjutnya nanti.

Selesai Mas Helmi, Mas Islamiyanto dari KiaiKanjeng naik ke panggung mengajak seluruh hadirin membaca Surah Yasiin bersama-sama. Untuk beberapa saat kemudian, suasana Macapat Syafa’at malam itu secara berangsur-angsur mengalami peralihan dari frekuensi otak ke frekuensi hati. Jama’ah Macapat Syafa’at tenggelam dalam khusyuk Surat Yasiin yang diteruskan dengan lantunan sholawat dan dzikir.

Menjelang tengah malam, setelah selesai Yasinan dan diteruskan pembacaan reportase Bangbang Wetan bulan April, Cak Nun memulai pembicaraan. “Saya tidak akan bicara apa-apa malam ini. Saya hanya mau cerita saja”, kata Cak Nun mengawali bicara. “Akhir-akhir ini saya sengaja niat untuk bersembunyi dari banyak orang, saya tempuh perjalanan berkilo-kilo tapi ketemunya cuma iblis”, sambung beliau. “Kemudian saya meneruskan langkah hingga kecapekan dan tertidur, dalam tidur itu saya bermimpi melihat matahari yang sangat besar, bahkan hingga 21.000 kali besar matahari yang kita tahu sekarang. Lalu ada suara Itulah Nur Muhammad! Kemudian saya segera terbang dan masuk dalam naungan Nur Muhammad itu. Tapi ketika saya berhasil masuk ke situ, orang-orang alim menghardik ke arahku, Keluar…! Hey…keluar kau…! Betapa terkejutnya aku sebab dihardik oleh para orang alim itu. Beberapa saat kemudian baru aku mengerti ternyata iblis ada dibelakang saya”, pungkas Cak Nun.

Saya yakin ini bukan cerita biasa, entahlah mau disebut apa. Dari nuansa cerita itu, saya menangkap nuansa tertentu dimana Cak Nun ingin menyampaikan sesuatu dengan cara yang berbeda. Apalagi ketika beliau menutup cerita dengan berkata, “Aku mati tergeletak di bawah Nur Muhammad”. Cak Nun adalah seorang penyair yang teaterawan yang seniman yang ulama yang budayawan yang juga ilmuwan yang juga penganut sufi yang juga pernah jadi wartawan dan entah predikat apalagi yang tersemat pada beliau sehingga dalam banyak hal sangat sulit menghadapi “makanan” yang disajikan beliau tanpa mengunyahnya dengan serius terlebih dahulu.

“Agama itu dialektis. Kita mengetahui ruang dengan mengendarai waktu, dan itulah cinta,” sambungnya kemudian. Dijelaskan beliau bahwa selalu ada sisi-sisi yang berlainan dalam melihat wajah dunia, yang baik maupun yang buruk, yang hitam atau yang putih. Dalam pada itu manusia mempunyai free will sehingga punya kemungkinan untuk berkembang dan tumbuh karena ia setiap saat bisa menakar ulang dan mengolah apa-apa yang dihadapinya untuk kemudian memilih apa yang hendak dilakukan atau tidak dilakukannya, diyakini dan tidak diyakininya, dan seterusnya. Cak Nun menghubungkan persoalan ini dengan kisah seorang Badui yang thawaf di Ka’bah sambil mengucap “Yaa Kariim…Yaa Kariim…”, bahkan ketika si Badui ini belum pernah sekalipun bertemu Muhammad. Lalu Jibril datang kepada Muhammmad dan berkata, ” Wahai Muhammad, katakan kepada si Badui itu, Allah tidak akan menghitung dosa-dosanya sebab dia telah berjalan menelusuri cinta”.

“Saya tidak menganjurkan anda untuk meninggalkan syariat, tapi perlu anda tahu bahwa syariat itu baru hardware“, kata Cak Nun. Melalui cerita dua orang penghuni neraka yang dipanggil Tuhan untuk ditanya perihal penyebab mereka masuk neraka, Cak Nun mengilustrasikan bahwa ridho dan kemurahan Tuhan itu akan selalu terhamparkan bagi siapa saja yang selalu berprasangka baik dan bergembira dengan perintah-perintahNya.
Cak Nun mengakhiri sesi pertama. Kini, microphone pindah ke tangan Sabrang.

Vokalis Letto yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di Kanada bidang Fisika dan Matematika ini memiliki kemahiran mempertemukan yang “yang ghoib” dan “yang ilmiah” atau yang oleh kebanyakan orang disemati sebagai fisika tapi oleh Sabrang bisa ditarik ke wilayah metafisika dan sebaliknya.

Pada Macapat Syafa’at kali ini, Sabrang mencoba mengambil ilmu dari teori warna. Sebagaimana dijelaskan dalam pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam ) tingkat sekolah dasar bahwa beragam warna itu jika dletakkan bersama-sama dan diputar maka yang akan nampak adalah warna putih. “Bahwa ada banyak spektrum warna, itu gambaran keberagaman alam dan seisinya termasuk segala fenomena manusia di dalamnya. Manusia itu sejatinya bukan merah, hijau, biru, kuning atau oranye atau yang lainnya tapi manusia mengandung itu semua,” ujar Sabrang mengawali.

Dicontohkan oleh Sabrang, pada manusia, merah itu naluri hidup, oranye adalah pemahaman individualitas, kuning itu kesadaran “aku” dengan komunitas, hijau adalah cinta yang memberi sementara biru merupakan jenis cinta yang menerima. Analogi beragam spektrum warna pada cahaya yang tampak putih itu mengandaikan bermacam-macam rupa/penampakan tapi esensinya adalah SATU. Kemudian, bahwa ternyata ada banyak kebudayaan manusia dalam memahami begitu banyak hal itu karena memang demikianlah strategi Tuhan dalam mengajari manusia mengenai keluasan ilmu.

“Misalnya kalau melihat gajah, orang Jawa dari sebelah sini, Cina dari sana, Arab dari situ dan seterusnya dan seterusnya. Maka beragam kebijaksanaan tapi berujung pada satu nilai”, sambung Sabrang. Senanda dengan Cak Nun di awal tadi, Sabrang menyebutkan bahwa maka free will harus dipertahankan agar daya pencarian seseorang selalu tumbuh.
Mengggapi pertanyaan salah seorang jama’ah tentang banyaknya agama dan cara orang memahami Tuhan, Sabrang menyebutkan bahwa inti semua ajaran adalah Tauhid. Yang membedakan dengan Muhammad soal shortcut (jalan pintas?). “Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, hidup itu bertanya bukan mencari jawaban sebab jawaban sudah ada”, demikian pendapat Sabrang.

Sementara itu, menjawab pertanyaan jama’ah lain tentang gerak daun menuju cahaya, apakah itu gerak fisika atau gerak rohani, Sabrang menguraikan bahwa gerak itu gerak rohani karena gerak itu bukan hanya dimotivasi oleh kebutuhan klorofil sebagai dapur makanan tumbuhan. Sabrang lebih melihatnya justru karena tumbuhan diperlengkapi klorofil itu sehingga ia memiliki kecenderungan untuk butuh cahaya.

Giliran Cak Nun kembali berbicara menanggapi keluh kesah seorang guru yang gamang melihat kondisi dunia pendidikan yang menurutnya berada pada situasi yang dilematis. Disatu sisi orang butuh sekolah untuk mendapat ijazah dan pengakuan formal, tapi disi lain kondisi pendidikan telah sedemikian rapuh bila dilihat dari sudut kesejatian ilmu.

“Yang diperlukan oleh muridmu adalah beri pengertian mereka bahwa sekolah itu bukan segala-galanya. Orang tidak lulus sekolah itu tidak berarti hidupnya akan hancur. Sekolah itu bukan tempat mencari ilmu, yang benar adalah sekolah itu tempat mencari ijazah. Cari ilmu kok di sekolah? Itu sama saja dengan mencari obat di kantor polisi. Guru itu banyak sekali, tidak hanya di sekolah. Sekolahlah untuk menyenangkan orang tuamu, syukur-syukur engkau dapat pekerjaan yang enak dengan ijazahmu tapi kalau mencari ilmu jangan mengandalkan di sekolah karena ilmu itu bisa dicari di mana saja”, ujar Cak Nun menandaskan.

Cak Nun menyebutkan bahwa ada pengetahuan sejati di mana mata, telinga, dan peralatan-peralatan jasadiah itu tidak berguna sebab pengetahuan sejati hanya bisa dcapai oleh kemurnian dan kasih sayang Tuhan terhadap hati yang senantiasa menyapa.

Demikianlah beberapa hal penting yang bisa aku tulis kembali dari Macapat Syafa’at 17 April 2012 lalu. Semoga bermanfaat dan syukur-syukur bisa menerbitkan sedikit cahaya terang bagi satu, dua, atau beberapa di antara kita. Lebih bersyukur lagi jika untuk banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar