Menyambut
peringatan semangat antikorupsi sedunia yang jatuh setiap tanggal 9 Desember,
malam ini (Jumat, 30/10) digelar Sarasehan Budaya di Auditorium STIK-PTIK di
kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sarasehan yang mewadahi empat
institusi negara — KPK, Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung – untuk
saling menjalin hubungan dalam bingkai nonformal ini turut pula menghadirkan
budayawan Emha Ainun Nadjib (yang lebih akrab dipanggil Cak Nun) beserta istri
Novia Kolopaking (Mbak Via), kelompok gamelan Kiaikanjeng yang dengan tekun
menjalin persaudaraan di dalam maupun di luar negeri melalui musik, kelompok
Teater Perdikan, dan budayawan Mohammad Sobary.
Tiga puluh
menit lepas dari pukul tujuh malam, Cak Nun dan Kiaikanjeng mengawali
acara dengan mengajak hadirin berdiri untuk bersama-sama menyanyikan Indonesia
Raya. Di atas panggung tampak telah hadir pula Busyro Muqqodas, Abraham
Samad (KPK), Komjen Nanan Soekarna (Wakil Kapolri), Darmono (Wakil Jaksa
Agung), Artidjo Alkostar (Ketua Muda Pidana Umum Mahkamah Agung), Catur Sapto
Edy (Wakil Ketua Komisi III DPR), dan Denny Indrayana (Wakil Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia).
Cak Nun
mengajak hadirin untuk tidak lupa belajar pada kearifan-kearifan sejarah bangsa
sendiri. Majapahit, misalnya, bukanlah kerajaan kesatuan yang monolitik
melainkan memiliki dialektika tertentu. Pendekatan atas dialektika ini tampak
pada produk budaya yang kita miliki, yakni nasi tumpeng dan nasi ambeng. Pada
tumpeng, nasi mengerucut dari dasar menuju satu puncak. Pada ambeng, nasi
dihamparkan di tampah, tidak ada puncak tidak ada dasar. Raja harus
tidak melulu tumpeng dan juga tidak terus-terusan ambeng. Ada momentum-momentum
tertentu di mana Raja harus tumpeng, memimpin rakyatnya dengan tegas; dan pada
momentum lain Raja juga harus siap untuk menjadi ambeng, ketika dia melebur
dalam kebersamaan dengan seluruh rakyatnya.
Raja
Majapahit tiap 35 hari (selapan) sekali dengan sepenuh hati mengundang
kepala daerah dari Thailand, Laos, Madagaskar, dan dari seluruh penjuru wilayah
kekuasaannya untuk berkumpul bersama dalam nuansa kedekatan dari hati ke hati.
Sejarah lokal ini bisa menjadi wacana bagi masa depan Indonesia.
“Acara ini
memang sangat bisa dicurigai, bisa diasumsikan sebagai bagian dari
kecenderungan politis tertentu, bagian dari pragmatisme pencitraan, atau
kamuflase. Saya tidak akan ikut berasumsi, karena saya tidak punya kapasitas
untuk mengetahui hatinya Pak Samad, Pak Nanan, dan kawan-kawan lain. Di dalam
kehidupan manusia ini tidak ada golongan yang benar dan golongan yang salah
menurut satu golongan tertentu, karena tiap-tiap golongan sama-sama berada di
dalam realitas. Maka, tidak ada yang dinamakan ‘golongan sesat’. Tentang apakah
seseorang mencintai atau tidak, misalnya, kita tidak pernah benar-benar tahu.
Yang bisa kita tangkap hanyaclue-nya, bukan fakta fisiknya. Saya bisa
saja mengatakan yang baik-baik di sini, tapi apakah ada yang tahu apa
yang sesungguhnya ada di dalam hati saya?”
“Yang saya
bawa ke sini adalah sangka baik. Saya ber-husnudzon bahwa yang hadir di
sini dikumpulkan oleh Tuhan, yang dengan kebenaran dan kesalahannya
masing-masing suatu saat akan menjadi patriot.”
Kiaikanjeng
lalu membawakan Shohibu Bayti, disusul dengan lagu Bendera yang
dibawakan oleh kelompok vokal ibu-ibu Kepolisian Diva Baranita.
“Saya sudah
keliling ke mana-mana,” lanjut Cak Nun, “dan hanya Indonesia yang punya
karakteristik tidak bisa diperdaya, tidak bisa dipecah-belah. Memang bisa
diperdaya, tapi sebentar. Pelan-pelan orang Indonesia akan menemukan dirinya
sendiri, tidak hanya sebagai manusia tapi juga akan menemukan formula-formula
kebersamaan dan sistem kenegaraan yang lebih baik daripada yang pernah ada
sebelum-sebelumnya. Orang Indonesia tidak bisa ditipu oleh bule maupun Arab,
karena kita lebih menipu daripada mereka.”
Sontak tawa
hadirin menghiasi ruangan auditorium berkarpet merah.
Darmono,
wakil Jaksa Agung, mengingatkan kembali bahwa korupsi merupakan masalah besar
bagi bangsa Indonesia – seperti juga bagi bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu,
untuk mampu menanganinya, kita memerlukan dua hal yakni tenaga yang besar dan
kemauan yang tak kalah besar.
Sebab,
apalah tenaga superbesar jika kemauan tak hadir. Kemauan di sini melibatkan
kemauan dari aparatur-aparatur penyelenggara negara yang memiliki kompetensi
pemberantasan korupsi dan juga dari seluruh rakyat.
Begitu pula,
buat apa kemauan yang besar jika tak mampu menghasilkan tenaga untuk
menjalankannya.
“Kita punya
tradisi selamatan. Di samping nasi tumpeng dan nasi ambeng seperti yang sudah
disampaikan Cak Nun tadi, jangan lupa bahwa kita juga punya nasi golong (nasi
yang dibentuk bola sekepalan tangan orang dewasa). Di samping kepemimpinan dan
kebersamaan, kita juga butuh adanya kekompakan langkah atau sinergi. Kalaupun
secara struktural sudah ada lembaga-lembaga negara yang lengkap, tanpa sinergi
pemberantasan korupsi tak akan berjalan baik.”
“Beliau
menambahi wacana mengenai nasi golong, “ Cak Nun menanggapi, “Yang saya tangkap
adalah semangat dan kepercayaan Beliau bahwa Indonesia bukan hanya harus
belajar pada Barat, tapi juga belajar pada nenek moyang. Misalnya belajar pada
Kerajaan Majapahit. Gajahmada itu tokoh pemerintahan, sementara Hayam Wuruk
berperan sebagai simbol ruhani dan budaya sebagai pemimpin.”
“PT. Pindad
sudah ada sejak zaman Singosari, mereka sudah ekspor meriam ke luar negeri.
Dalam dunia maritim pun Jawa pernah sangat unggul, dengan ukuran kapal 3,5 kali
lipat lebih besar daripada kapal-kapal China. Jadi, kita ini negara yang
tinggal mau atau tidak untuk bangkit menjadi diri kita sendiri.”
Sebelum
Cahaya dibawakan
oleh Diva Baranita, mengantarkan jalannya diskusi ke Wakapolri Nanan Soekarna.
“Yang berada
di atas panggung sini adalah yang paling bertanggung jawab atas pemberantasan
korupsi. Acara sarasehan budaya ini bukan acara formal, bukan pencitraan,
melainkan kesempatan bagi kita untuk bicara blak-blakan.”
Alih-alih
membidik logika, dalam pemberantasan korupsi Komjen Nanan lebih menitikberatkan
pada hati. Kalau menuruti jalannya logika, besaran gaji yang diterima apartur
negara tak mencukupi sehingga ketika ada peluang-peluang untuk korupsi, hampir
mustahil untuk menolaknya. Namun ketika hati sudah bicara, akan lain
pertimbangannya.
Doa pada
setiap apel pagi untuk senantiasa dianugerahkan-Nya hidayah untuk bisa
melayani, untuk bisa menjadi polisi yang anti-KKN, merupakan wujud atas upaya
menyentuh hati semua pejabat di jajaran Kepolisian. Perkap Nomor 40 yang
merupakan penjabaran dari UU Nomor 28/1999 menegaskan bahwa semua anggota Polri
dari bintang 4 sampai Bintara terendah merupakan pejabat publik. Setiap mereka
disumpah sebagai bentuk pengawasan berjenjang.
“Upaya-upaya
sudah ditempuh melalui berbagai cara dan dengan bermacam pendekatan, meskipun
faktanya seperti yang bisa kita lihat sekarang. Ini karena kami bukan robot,
kami juga berangkat dari masyarakat dengan latar belakang masing-masing. Kami
butuh sekali pengawasan. Tolong kami diawasi, dikoreksi, ditegur, dilaporkan —
bahkan kepada KPK sekalipun — karena kami manusia biasa yang memerlukan kontrol
sosial. Inilah komitmen Kepolisian. Jangan ragu-ragu untuk melaporkan siapapun
polisi yang berlaku salah. Jangan mau kompromi dengan mereka, jangan mau
dipungli! Saya yakin korupsi bisa diberantas.”
“Saya
memohon maaf kalau sampai saat ini masih ada polisi brengsek, masih ada polisi
korup. Tolong bantu kami untuk mendukung KPK melaksanakan tugasnya,” tutup
Komjen Nanan.
“Pak Nanan
ini kesadaran utamanya bukan kesadaran hukum melainkan kesadaran keadilan,”
sambut Cak Nun.
“Kita saat
ini baru mengenal satu supremasi yakni supremasi hukum, padahal hukum hanya
satu bagian saja. Supremasi hukum itu cara berpikirnya para penegak hukum.
Kalau DPR sebagai wakil rakyat, sudut pandangnya adalah supremasi keadilan.
Sementara itu, yang berlaku di dalam masyarakat adalah supremasi moral. Kalau
di tengah jalan kita bertemu dengan seorang anak yang hampir mati kelaparan
kemudian kita tidak menolongnya, secara hukum kita tak punya status salah.
Namun secara moral, kita telah melakukan kesalahan.”
Cak Nun
memberikan contoh-contoh ulah penjajah sejak abad ke-17 dalam mengubah bangsa
kita. Dulu, kita berbicara dengan menggunakan hati. Ilmu kawruh kita
mengajarkan bahwa hati adalah ratu dan otak adalah perdana menteri. Hari-hari
ini, begitu kita menjadi modern, kita menggeser posisi otak sebagai presiden.
Kita digiring oleh Belanda untuk menggunakan ilmu otak.
Bahkan dalam
term “ratu” pun tatanan pemahaman kita sudah diobrak-abrik sedemikian
rupa sehingga saat ini kita mengasosiasikan Ratu sebagai sosok wanita,
sementara Raja adalah pria. Padahal Ratu adalah pusat dari sesuatu yang
dinamakan Keraton. Maka tak heran jika kita kehilangan fokus tentang
kepemimpinan.
Satu nomor
lagi disajikan oleh Diva Baranita. Kali ini, Penasaran dari Rhoma Irama
— yang menyambungkan diskusi sebelumnya dengan uraian dari panembahan hukumnya
Indonesia, Artidjo Alkostar, Ketua Muda Pidana Umum Mahkamah Agung.
Artidjo
menyoroti posisi korupsi sebagai extraordinary crime di Indonesia. Oleh
sebab itu diperlukan upaya-upaya yang juga extraordinary untuk
memberantasnya. Bahkan dalam Konvensi Antikorupsi yang diselenggarakan
baru-baru ini di Brazil, ada wacana untuk membawa dan menyelesaikan kasus-kasus
korupsi di Mahkamah Internasional saja.
Dalam
pemberantasan korupsi, menurut Artidjo, ada lagi hal yang harus ada : kebersamaan
seluruh elemen-elemen negara untuk menegakkan nama baik Indonesia, dan juga
gerakan penolakan terhadap imunitas yang mengarah pada status ‘tidak dipidana’.
Jangan sampai pemberantasan korupsi hanya menyentuh yang di bawah-bawah saja.
“Ke depannya
kita mesti menganut prinsip zero tolerance terhadap tindak korupsi.”
Soal korupsi
sebagai extra ordinary crime, Cak Nun menanggapi, “Itu kan dalam wilayah
hukum. Sementara itu kalau di dalam wilayah moral, korupsi itu ordinary
ordinary saja kok.”
“Bahkan
sekarang ini ada peningkatan kok. Modus korupsi saja sudah sangat ‘relijius’
istilah-istilahnya. Kalau dulu eranya Angie menggunakan kode apel Malang dan
apel Washington, sekarang SMS-nya bisa berbunyi begini: ‘Tolong yang 10%
disisihkan untuk kiai, 10% untuk pesantren. Kalau kurang jelas, nanti kita
tahlilan di Hotel Sultan’. Maksudnya kiai adalah anggota DPR, sementara
pesantren merupakan istilah yang dipakai untuk menyamarkan penyebutan
departemen terkait dengan proyek itu. Dan tahlilan, merupakan kode untuk meeting
dalam rangka bagi-bagi jatah tadi. Bahkan informasi dari Pak Samad,
penyebutan tempat meeting sudah lebih halus lagi, menggunakan istilah maktab.
Cerita Cak
Nun ini langsung disambut tawa dari hadirin.
“Jadi kalau
kita serius, kata tahlil digunakan untuk rundingan korupsi, itu kan laknat dan
pengkhianatan. Tapi di Indonesia dilakukan dengan tenang-tenang. Sama Tuhan pun
kita berani korupsi.”
Setelah satu
nomor musik Terbit Rembulan dari Kiaikanjeng, muncul Ruwat Sengkolo,
satu tokoh teater Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc yang pada awal tahun 2012
telah dipentaskan di beberapa kota.
Dengan
iringan musik Dari Sabang Sampai Merauke, Ruwat Sengkolo meneriakkan
nyanyian, “Dari Sabang sampai Ternate, berjajar pulau-pulau!”
Ki Janggan
masuk panggung sambil memotong musik yang sedang dimainkan, “Apa itu, apa itu,
kok gitu. Coba ulang, ulang!”
“Dari Sabang
sampai Ternate, berjajar…,” ujar Ruwat, “Maaf, Guru.”
“Kok
Ternate?”
“Ampun Guru,
saya mendengar Irian Jaya sedang terancam. Kalau kita nggak serius menjaga
negara, dia bisa lepas dari tangan kita seperti Timor-Timur dulu.”
“Justru
karena itu lirik lagunya harus tetap ‘Dari Sabang sampai Merauke’. Kamu sebagai
generasi penerus harus meneguhkan nasionalisme.”
“Siap Guru!
Hidup matiku untuk NPKRI!”
“Lho kok
NPKRI?”
“Negara
Persatuan dan Kesatuan Republik Indonesia, Guru.”
“NKRI!”
“Ampun Guru,
selama ini Guru mengajariku berpikir utuh. Persatuan dan kesatuan tak bisa
dipisahkan. Pidato semua pemimpin kita tidak pernah menyebut persatuan dan
kesatuan sebagai terpisah. Persatuan harus kesatuan, kesatuan harus persatuan.”
“Ya, ya, ya…
Kamu berpikir utuh dan logis, tapi tidak lazim, tidak umum. Yang lazim dan
konstitusional itu NKRI, negara kesatuan dari beragam-ragam suku dan golongan.”
“Siap Guru!
Bhinneka Manunggal Ika!”
“Bhinneka
Tunggal Ika!”
“Ampun Guru,
yang Tunggal itu hanya Tuhan. Kalau manusia itu manunggal, menyatu, nyawiji
kata orang Jawa.”
“Sudah
terlanjur Tunggal Ika, jangan macam-macam.”
“Tunggal itu
satu-satunya, the only. Tuhan Yang Maha Tunggal, bukan Tuhan Yang Maha
Esa. Kalau esa itu bisa diteruskan ke dua, tiga – seperti bahasa Tagalog : Esa,
Dalawa, Tatlu, Apat, dan seterusnya. Kalau Tunggal, tidak ada ‘dua’-nya, tidak
ada ‘tiga’-nya.”
Terdengar
derap suara sepatu lars menjejak lantai dalam langkah-langkah tegap. Ruwat dan
Ki Janggan menepi.
“Saya
Gaspol! Saya petugas kepolisian. Saya penjaga konstitusi dan penegak hukum.
NKRI itu harga mati. Yang menentang NKRI, harganya : Mati! Sudah jelas cetho
welo-welo, kata NKRI disebut secara tegas dalam teks Proklamasi dan UUD
’45. Barangsiapa melawan, berhadapan dengan Gaspol!”
Usai
menyampaikan pesannya, Pak Gaspol kembali menghilang dari panggung.
“Itulah
sebabnya Guru, sila pertama adalah ‘Tuhan Yang Maha Tunggal’.”
“Apa-apaan
kamu. Sila pertama itu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.”
“Ampun,
ampun, Guru mengajarkan kepadaku untuk berpikir jernih. Ketuhanan itu sifat.
Tuhan itu subyek, maha subyek. Yang disembah oleh seluruh bangsa kita bukan
hanya sifat Tuhan, tapi Tuhan sendiri.”
“Ruwaaaat!
Pikiranmu berbahaya dan semakin sesat.”
“Kita
menyembah Tuhan, bukan ketuhanan. Bendera kita Merah Putih, bukan kemerahan dan
keputihan.
Tiba-tiba
terdengar suara terkekeh-kekeh dari belakang panggung. Lalu muncul sosok Pak
Jangkep, ayah dari Ruwat Sengkolo.
“Keputihan,
keputihan, sembelit!”
Ki Janggan
dan Ruwat kaget oleh kedatangan Pak Jangkep. Masing-masing menyapa. Ruwat
membimbing tangan bapaknya.
“Mohon maaf
Pak Jangkep, saya merasa salah telah menjadikan Ruwat seperti anak yang salah
didik.”
“Salah
asuhan. Saya juga salah dalam mengasuh anak ini.”
“Saya tidak
pernah mengajarkan semua yang dia omongkan tadi.”
“Kalau
mikirmu seperti itu, lama-lama kamu bisa jadi teroris, Ruwat!”
“Guru pernah
mengajarkan bahwa pikiran kita memerlukan teror supaya dinamis dan kreatif.”
“Maksudku
bukan teror pikiran, tapi teror… ya terornya teroris itu lho!” jawab Pak
Jangkep.
“Pak Jangkep
bapakmu ini was-was, Ruwat, jangan sampai kamu melanggar hukum. Negara kita ini
negara supremasi hukum.”
“Ampun Guru,
hukum itu mutlak penting, tapi letaknya paling bawah. Kalau kita tidak menolong
orang yang menderita, kita tidak dipersalahkan oleh hukum. Koruptor harus
dihukum, tetapi kalau petugas hukum tidak menghukum koruptor, atau pura-pura
tidak tahu bahwa atasannya terlibat tipikor, petugas itu tidak dihukum oleh
hukum.”
“Kamu ini
sekolahnya kebatinan kok ngomong hukum!”
“Kamu ini
sedang menuduh ada petinggi yang korupsi tapi bebas hukuman, begitu?” tanya Ki
Janggan.
“Bukan Guru,
yang saya bicarakan ini soal supremasi. Yang berpikir supremasi hukum itu
petugas negara. Tapi kalau rakyat, berpikirnya harus supremasi keadilan. Kalau
masyarakat, fokusnya supremasi moral.”
“Owalaah
Ruwaaat…Ruwaaat.. Kamu ini penganggur, makan saja sering masih minta-minta, kok
sempat-sempatnya mikir hukum,” ujar Pak Jangkep.
“Justru
karena ndak punya kerjaan maka murid saya ini pikirannya ngomyangke
mana-mana, Pak Jangkep.”
“Bahkan,
seharusnya, Jaksa jangan hanya pandai mencari kesalahan. Jaksa juga harus
pinter mencari kebenaran.”
“Jaksa kok
disuruh cari kebenaran. Terus isi tuntutannya apa?”
“Mungkin
maksudnya Ruwat, Jaksa ke pengadilan tidak hanya menyeret terdakwa kejahatan,
tapi bisa juga terdakwa kebaikan. Kalau terbukti jahat, Hakim menghukum. Kalau
terbukti baik, Hakim memerintahkan kepada pemerintah untuk memberinya hadiah.”
“Aslinya
memang begitu. Hakim di Pengadilan, modal utamanya bukan pasal-pasal hukum
melainkan rasa keadilan dan keteguhan moral. Sangat mungkin manusia melakukan
kesalaan yang belum ada pasal hukumnya. Buah catur saja yang jumlahnya hanya
32, punya 114 juta kemungkinan langkah. Lha kalau buah caturnya sebanyak
penduduk Indonesia, 235 juta, berapa trilyun probabilitas pelanggaran hukumnya?
Maka Hakim harus selalu siap menciptakan pasal-pasal baru berdasarkan kejujuran
nuraninya, rasa keadilan dan keteguhan moralnya.”
Muncul lagi
dari belakang panggung Pak Gaspol, kali ini lebih garang. Yang lain kembali
menepi.
“Ini negara
supremasi hukum! Jangan ditambah-tambah dengan supremasi-supremasi macam-macam
lainnya. Hukum thok saja sudah repot! Saya anggap, semua yang di luar supremasi
hukum adalah pelanggaran hukum. Dan saya akan bertindak tegas. Hukum itu tidak
pandang bulu, hukum itu buta kulit, buta warna, bahkan kalua perlu buta huruf.
Tidak peduli Syiah, Si B, Si C, Silalahi, Sikeas, kalau diduga melanggar hukum,
akan saya panggil, saya periksa!”
Pak Gaspol
lantas berjalan melintasi para narasumber, lalu memandangi deretan personil
Kiaikanjeng, “Siapa kere-kere ini? Ati-ati, jaga kelakuannya. Nanti saya pilih
siapa yang teroris di antara kalian!”
Penampilan
spesial dari Kelompok Teater Perdikan ini disambung dengan sajian lagu Sepinya
Hati Garuda dari Mbak Via, sebuah lagu yang pernah dibawakan pada saat
pementasan teater Tikungan Iblis pada November 2008.
Sepinya hati
Garuda
Dijunjung tanpa jiwa
Menjadi hiasan maya
Oleh hati yang hampa
Dijunjung tanpa jiwa
Menjadi hiasan maya
Oleh hati yang hampa
Dendam tanpa
kata
Mendalam luka Garuda
Disayangi tanpa cinta
Dipuja tapi dihina
Mendalam luka Garuda
Disayangi tanpa cinta
Dipuja tapi dihina
Pada
sarasehan budaya ini Busyro Muqoddas menyoroti satu hal yang harus ada dalam
pemberantasan korupsi, yakni niat. Perlu sekali untuk terus-menerus direnungkan
niat seperti apa yang sebenarnya sedang mendasari gerakan pemberantasan korupsi
– baik di institusi-institusi negara maupun di masyarakat. Ada apa saja di
balik semua gerakan tersebut.
“Acara ini
pun dapat terselenggara berkat niat baik dari Mabes Polri, Kejaksaan Agung, MA,
dan KPK yang tahun lalu telah sukses menggelar acara serupa di kampus Taman
Siswa Yogyakarta.”
“Kalau sudah
ada niat baik, ada jalan-jalan keluar. Niat baik, diproses dengan baik untuk
tujuan yang baik, akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.”
“Korupsi
sekarang ini telah menyebabkan kemiskinan struktural. Orang-orang yang sudah
miskin masih terus dimelaratkan oleh korupsi. Kemelaratan ini pada gilirannya
juga melahirkan korupsi struktural. Untunglah DPR membuat KPK. Pak Catur pernah
mengatakan, ‘Mbokya KPK ini menyadari kalau DPR ibarat bapaknya KPK’.
Betul memang itu, tapi Pak Catur dari Komisi III DPR pasti juga ingin kalau
anaknya jadi sholeh kan. Dan Alhamdulillah, Revisi UU KPK akan dicabut.”
Selebihnya
Busyro Muqoddas merayakan kemesraan dengan sahabat lamanya, Cak Nun, dengan
saling ejek.
“Revisi UU
KPK tidak jadi, itu belum berhenti. Atas niat apa pencabutan itu, itu yang
penting. Ada apa di balik pencabutan, mesti juga dikaji,” Cak Nun menanggapi, “Jangankan
menangani hukum, shalat saja ada tiga tingkatan niat, yakni tingkat kebenaran,
kebaikan, dan keindahan. Kebenaran memanifestasi dalam rukun-rukun sholat,
kebaikan dalam niatnya, dan keindahan dalam kekhusyukannya. Kalau Anda tidak
khusyuk pada Allah, Dia akan membatalkan kebenaran dan kebaikannya.”
“Anak cucu
kita akan mengalami mercusuar. Untuk optimisme, saya membabi buta. Jatuh ayok,
tapi saya akan terus bangkit lagi! Pokoknya apapun yang terjadi, kita optimis
bangkit lagi.”
Sesuai
dengan optimisme yang dibawa Cak Nun, Kiaikanjeng membawakan satu nomor
berjudul Putra Masa Depan. Selepas itu, Catur Sapto Edy dari Komisi III
DPR menyampaikan rasa bahagia atas terselenggaranya Sarasehan Budaya ini,
sebuah wadah untuk berkumpul dan bertukar pikiran tapi dalam suasana nonformal.
“Ternyata
hukum formal tidak dapat menjadi jaminan. Kalau dengan istilah Cak Nun, di atas
hukum ada akhlak. Kalau kita mengedepankan akhlak, ribut-ribut di belakang tak
akan terjadi.”
Catur
berpendapat bahwa yang bermasalah di Indonesia adalah para elitnya, sementara
rakyat tak terlalu bermasalah dengan masalah-masalah yang ada. Bedakan saja
dengan rakyat US yang marah-marah pada pemerintah hanya karena aliran listrik
putus setelah badai Sandy menerjang. Padahal di sini, mati listrik sudah
menjadi hal yang biasa-biasa saja.
Berdasar
hasil penelitian mengenai global happiness, dari 24 negara Indonesia
merupakan negara dengan jumlah rakyat yang paling banyak merasa bahagia.
Sebagai perbandingan, berikut ini beberapa angka statistiknya: Korea Selatan
(7%), Jepang (18%), India (40%), Mexico (43%), dan Indonesia (51%).
Menurut
Catur, yang paling jahat dari tindakan korupsi adalah korupsi
perundang-undangan. Misalnya UU Migas yang mengatur proporsi gas untuk konsumsi
dalam negeri maksimal 25%, sementara migas dengan kualitas unggul justru
dilarikan ke luar negeri dalam jumlah yang sangat besar. Pernah ada temuan,
korupsi dari satu KPS mencapai 2,3 Milyar Dollar. Ini baru dari satu KPS.
“Salah satu
kelemahan rakyat Indonesia adalah kekuatan mereka – pada konteks tertentu,”
ujar Cak Nun, “Dicuri, ditempelengi, dibohongi, tetap tahan. Rakyat-rakyat di
dunia mengalami guncangan-guncangan, tapi tidak dengan rakyat Indonesia.
Pemerintah boleh jatuh, tapi rakyat tetap kuat.”
“Kalau
dibilang bahwa para elit telah berbuat jahat pada rakyat, tidak juga. Mungkin
kita butuh pemerintah yang jauh lebih kejam karena kita justru akan merasa
heran ketika pemerintahnya baik. Beruntunglah yang menjadi golongan elit,
karena mereka tidak pernah dituntut apapun oleh rakyat Indonesia.”
“Manusia
Indonesia jangan pernah ditindas, karena yang menindas yang akan kalah. Sebab, katuranggan
manusia Indonesia adalah tanah, diinjak-injak tak masalah. Saya kira, Tuhan
sengaja menciptakan manusia hibrida bernama manusia Indonesia. Yang jelas yang
begini ini bukan manusia biasa. Entah campurannya apa – mungkin setan juga.”
Hadirin
kembali ger-geran.
“Sekarang
Amerika baik-baik sama kita karena dia takut melawan rakyat Indonesia. Melawan
SBY sangat gampang, tapi melawan rakyat? Pemerintah hanya anaknya bangsa.”
Denny
Indrayana mengaku hadir dalam sarasehan ini di samping karena ingin melihat
suasana harmonis antara para penegak hukum, juga karena rasa kangen terhadap
Cak Nun dan KiaiKanjeng. Mengenai gesekan yang pernah terjadi antara KPK dengan
institusi lain, ada hal yang harus diingat, yakni bahwa di dalam KPK sendiri
ada Kepolisian dan Kejaksaan.
Pemberantasan
korupsi tak bisa berjalan, apalagi dalam wilayah-wilayah yang sulit disentuh,
jika KPK bergerak tanpa dukungan pihak-pihak lain.
“Semoga di
luar forum semacam ini, ketika ada kasus korupsi baru yang ditangani KPK, yang
sama-sama kita lawan adalah koruptornya, bukan tergantung pada institusi
asalnya. Demokrasi dan korupsi bukanlah kawan, melainkan lawan. Meskipun masih
ada banyak sekali kasus korupsi, upaya pemberantasan korupsi Indonesia
menempati urutan nomor 8 di dunia. Ini menunjukkan bahwa kita sedang berbuat,
tidak diam saja.”
Mohammad
Sobary, yang lebih akrab dipanggil Kang Sobary, menitikberatkan bahasan pada
ulah negara-negara Eropa dan Amerika dalam membuat citra Indonesia buruk di
mata dunia, sambil mereka melakukan lobi-lobi politik untuk mengeruk
sebanyak-banyaknya kekayaan Indonesia. Hal ini yang kemudian memperparah
kerusakan yang sudah ada.
Mereka
menciptakan ukuran-ukuran untuk menggiring Indonesia sampai pada kesimpulan
bahwa kita tidak bisa mengelola. Lalu mereka datang, mengajarkan metode
pengelolaan, sambil merampok aset-aset negara. Perbankan, pertambangan, perkebunan,
dan bidang-bidang lainnya dikuasai asing. Alfamart dan Indomaret ada di setiap
gang, sementara pada saat yang sama orang-orang miskin di sepanjang jalan
dipaksa puasa.
“Tulus atau
tidak tulus itu tidak penting, yang penting ada tindakan-tindakan nyata dalam
memberantas korupsi.”
Sebagai
kalimat pamungkas, Kang Sobary memilih kutipan dari Hamlet, “Zaman edan,
terkutuklah nasibku karena aku lahir untuk meluruskanmu!”
“Pak Sobary
memberi PR kepada kita,” Cak Nun menanggapi, “Tiga jam tadi kita ngomongin
pencurian oeh anggota rumah tangga di dalam rumah. Pak Sobary mengingatkan pada
provokasi tetangga-tetangga. Saya kira kita perlu formasi tokoh-tokoh yang
lebih luas. Kita akan ngomongmengenai penjajahan global. Mudah-mudahan
akan ada forum yang mewadahi kajian semacam ini.”
“Bukan
setelah ada acara ini lantas penanganan korupsi akan lebih baik, karena
Tuhanlah pelaku utama.”
“Perkara
tulus atau tidak, Pak Sobary, di dalam olahraga ‘tulus’ ini dikenal sebagai
‘sportif’, di dalam keilmuan namanya ‘obyektif’, di dalam kesenian ia adalah
‘pas’, dan di dalam agama ia disebut ‘jujur’. Kalau tidak tulus, tidak akan
tindakannya menguntungkan rakyat; karena ketika ‘yang seolah-olah’ yang
ditanam, yang kita panen adalah wajah aslinya. Meskipun yang dimaksud Beliau
tadi adalah dalam konteks pragmatisme hukum.”
Memasuki
pukul sebelas malam, Cak Nun kemudian meminta Kiaikanjeng, Diva Baranita, para
narasumber, dan juga hadirin untuk bersama-sama menyanyikan medley Nusantara.
Potongan-potongan lagu daerah Bali, Jawa, Nusa Tenggara, lagu nasional, lagu
Papua, China, Maluku, Riau, Sunda, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, paduan
Jawa-Arab, bahkan lagu pop Barat dirangkai apik dengan iringan gamelan, dan
dipuncaki dengan Ya Laitany-nya Ummi Kultsum.
Are kijang
jange janger kopyak epong
Kopyak sede, kopyak sede pade dopong
Siyar siyer, ngiring mejangerang dijabel tengahe
Kopyak sede, kopyak sede pade dopong
Siyar siyer, ngiring mejangerang dijabel tengahe
Tak lelo
lelo lelo ledhung, cup menengo anakku sing ayu
Tak emban nganggo jarik kawung
Yen nangis mundhak Bapa Biyung
Tak emban nganggo jarik kawung
Yen nangis mundhak Bapa Biyung
Bolelebo,
itanusa lelebo
Malole si malole, itanusa si malole
Baik tidak baik, tanah Timor lebin baik
Malole si malole, itanusa si malole
Baik tidak baik, tanah Timor lebin baik
Tanah airku
tidak kulupakan,
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh,
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai, engkau kuhargai
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh,
Tidakkan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai, engkau kuhargai
He yamko
rambe yamko, aronawa kombe
He binokibe kubano kebombeko
Yumano bungo awe ade
Hongke hongke, hongke rio
Hongke jambe, jambe rio
He binokibe kubano kebombeko
Yumano bungo awe ade
Hongke hongke, hongke rio
Hongke jambe, jambe rio
Ni inkai
femi diwo tiai, wo can wo can wo tanni tan hai
Pu yen wan wan, fu yen fangsi tanii tan hai
Pu yen wan wan, fu yen fangsi tanii tan hai
Sholawatullahi
‘alaik
Kota Ambon ibu negri tanah Maluku
Di pinggir pantai tempat kita bertedu
Bulan terang menerangi tepinya pantai
Kudengar
bunyi sewara tifa ramai ramai
Lancang kuning, lancang kuning, berlayar malam,
Hai berlayar malam
Haluan menuju, haluan menuju ke laut dalam
Lancang kuning berlayar malam
Lancang kuning, lancang kuning, berlayar malam,
Hai berlayar malam
Haluan menuju, haluan menuju ke laut dalam
Lancang kuning berlayar malam
Mesat
ngapung luhur jauh di awang-awang
Meberkeun janjangna bangun taya karingrang
Kukuna ranggaos reujeung pamatukna ngeluk
Ngepak mega bari hiberna tarik nyaruwuk
Manuk dadali, manuk panggagahna
Perlambang sakti Indonesia jaya
Manuk dadali pang kakoncarana
Resep ngahiji rukun sakabehna
Meberkeun janjangna bangun taya karingrang
Kukuna ranggaos reujeung pamatukna ngeluk
Ngepak mega bari hiberna tarik nyaruwuk
Manuk dadali, manuk panggagahna
Perlambang sakti Indonesia jaya
Manuk dadali pang kakoncarana
Resep ngahiji rukun sakabehna
Cik cik
periuk bilangan sumping dari jawe
Datangnya kecibuk bawa keciping dua ekor
Cak cak bur dalam belanga,
Picak hidung gigi ronga
Sape kitawa dolo dipancung raje tunggal
Datangnya kecibuk bawa keciping dua ekor
Cak cak bur dalam belanga,
Picak hidung gigi ronga
Sape kitawa dolo dipancung raje tunggal
There’s a
place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much brighter than tomorrow
And if you really try, you’ll find
There’s no need to cry
In this place, you’ll feel
There’s no hurt or sorrow
There are ways to get there
If you care enough for the living
Make a little space
Make a better place
Heal the world, make it a better place
For you and for me,
And the entire human race
And I know that it is love
And this place could be much brighter than tomorrow
And if you really try, you’ll find
There’s no need to cry
In this place, you’ll feel
There’s no hurt or sorrow
There are ways to get there
If you care enough for the living
Make a little space
Make a better place
Heal the world, make it a better place
For you and for me,
And the entire human race
There are
people dying
If you care enough for the living
Make a better place for you and for me
If you care enough for the living
Make a better place for you and for me
Anging
mamiri kupasang, pitujui tonton ngana
Tusarua tak kalupa
E aule manangurangi, tutenaya tutenaya parisina
Malolorang, malolorang jene mata
Tusarua tak kalupa
E aule manangurangi, tutenaya tutenaya parisina
Malolorang, malolorang jene mata
Wa makaru
wamakarollah, wallohul khoirul makirin
Kalau setia mendapat surga, kalau durhaka dapat bencana
Wamaro-aita idz romaita, walakinalloha roma
Memilih surga atau neraka, seratus persen urusan Anda
Kalau setia mendapat surga, kalau durhaka dapat bencana
Wamaro-aita idz romaita, walakinalloha roma
Memilih surga atau neraka, seratus persen urusan Anda
Imagine
there’s no heaven
It’s easy if you try
No hell bellow us, above us only sky
Imagine all the people living for today
It’s easy if you try
No hell bellow us, above us only sky
Imagine all the people living for today
Imagine
there’s no country
And no religion too
Imagine all the people living life in peace
You may say, I’m a dreamer,
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us, and the world
Will be as one
And no religion too
Imagine all the people living life in peace
You may say, I’m a dreamer,
But I’m not the only one
I hope someday you’ll join us, and the world
Will be as one
Yaa
Laitana….
Tho-iron nal hu bir-roudhi fii sarkhihil hasbibi2x
Walaitana zahrotani tahfuhu ‘ala syafa jadwali la’uubi
Tho-iron nal hu bir-roudhi fii sarkhihil hasbibi2x
Walaitana zahrotani tahfuhu ‘ala syafa jadwali la’uubi
Selepas itu,
Cak Nun mengajak para narasumber dan hadirin untuk memasuki wilayah yang musik
tak mampu lagi menjangkaunya. Dengan khusyuk, doa-doa dipanjatkan satu-satu,
demi kebaikan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar