Bahwa sudah pasti setiap muslim yang telah baligh serta sehat wal afiat
akalnya akan mengimani terjadinya peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad.
Keyakinan dan keimanan terhadap peristiwa Isra’ Mi’raj bukan karena ia telah
lolos dari penelitian ilmiah oleh ratusan bahkan ribuan profesor, juga bukan
karena ia telah dikuatkan dengan — misalnya — diturunkannya keputusan presiden
dari seluruh negara di kolong langit, tapi karena berita itu secara langsung
tersurat dalam Al-Qur’an yang sudah pasti tidak mungkin tidak ilmiah, tidak
mungkin salah dan sangat tidak mungkin mengandung keragu-raguan.
Ini namanya ma’rifat, yaitu untuk urusan dengan “perkataan” Tuhan kita hanya
butuh percaya dan yakin dan seyogyanya tidak meragukannya sedikit pun. Beda
urusannya dengan ketika kita membaca atau mendengar atau disodori perkataan
seorang presiden, menteri, anggota DPR, akademisi, ilmuwan, atau siapapun dia
yang masih tergolong dalam kelompok manusia. Untuk menyikapi mereka kita butuh
pendekatan ilmu, kita harus menelitinya, melakukan check and recheck, melakukan
analisis dan kajian-kajian tertentu guna membuktikan kebenarannya. Dengan
demikian ada muatan ilmu yang teramat jauh antara metodologi ilmiah dan
metodologi “makrifatiyah”.
Misalnya kalau seorang presiden berkata bahwa pembangunan yang sedang
dijalankannya telah berhasil dan sukses menekan angka kemiskinan dan
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat, itu kita tidak boleh langsung
mempercayainya. Tentu ini bukan su’udzon tapi lebih kepada agar dari sesama
manusia kita bisa saling belajar satu sama lain.
Akan tetapi lain halnya kalau kita suatu kali menemukan ada “perkataan
Tuhan” seperti ini: “Subhanalladzii asraa bi’abdihii laillan minal masjidil
haraami ilal masjidil aqshaalladzii baarakna haulahuu linuriyahuu min
aayaatinaa. Innahuu huwas samii’ul bashiiru.” (Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya
sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui, QS Al Isra’: 1).
Kalau membaca atau mendengar ayat ini, kita harus langsung percaya dan yakin
terhadapnya. Kita tidak bisa dan tidak mampu untuk membuktikan kebenarannya
melalui penelitian ilmiah karena sangatlah tidak mungkin hamba memahami Khaliq.
Yang kemudian mesti kita lakukan adalah mencari dan terus-menerus menemukan
realitas kebenaran dan kontekstualitasnya dalam kehidupan kita.
Ayat 1 surah Al Isra’ inilah yang disampaikan Cak Nun saat mengawali
kegiatan Ma’iyahan dalam rangka peringatan Isra’ Mi’raj di lapangan Kartopuran
Solo pada 23 Juni 2012 yang lalu.
“Kalau mengetahui ayat ini, kita nanti akan mengetahui keutamaan melakukan
segala sesuatu dalam hidup ini berdasarkan konsep diperjalankan Tuhan“,
demikian kata Cak Nun. Segera kemudian Cak Nun menyusul dengan penjelasan, “Apa
saja yang kita hadapi itu sesungguhnya berada dalam koridor diperjalankan
Tuhan sehingga dengan begitu kita janganlah terlalu banyak berprasangka
mengenai diri kita dan mengenai dunia. Nah, kata diperjalankan
disambung dengan kata pada suatu malam. Apa ini maksudnya? Hidup itu
malam, hidup itu “peteng” (gelap) dan peristiwa-peristiwa masa depan
dalam hidup kita adalah malam. Karena itu untuk melewati kegelapan itu kita
butuh cahaya, kita butuh penerang yang harus kita dapat dari apa saja yang
telah diberitakan oleh Tuhan melalui ayat-ayatnya (tanda-tanda) kebesaranNya,”
demikian Cak Nun menguraikan.
Melanjutkan penjelasannya Cak Nun menegaskan bahwa dengan ini semua kita
tidak akan pernah punya waktu untuk tidak bersyukur kepada Allah. “Kita di sini
tidak anti siapa-siapa, karena Islam adalah ummatan wasathan, artinya
jalan tengah, yaitu berada di tengah-tengah di antara 2 kutub, tidak ekstrem
kiri maupun ekstrem kanan,” ujar Cak Nun.
(Menurut beberapa pendapat, ada yang mengatakan bahwa sebenarnya kata
“wasit” itu berasal dari kata wasathan. Perhubungannya kira-kira
begini: “wasatha-yasithu-wasathan”, artinya adalah orang yang ada di
tengah-tengah. Jadi kemudian muncullah istilah “wasi”, yaitu pihak yang tidak
memihak, tetapi bertugas menyelenggarakan kehidupan agar berjalan dengan tertib
dan memberikan keputusan secara adil).
Cak Nun bersama KiaiKanjeng yang pada malam itu didampingi Mbak Novia
Kolopaking menggunakan momen peringatan Isra’ Mi’raj sebagai sarana komunikasi
sosial dengan berbagai elemen masyarakat Islam Solo dari latar belakang yang
berbeda-beda dengan cara memoderasi elemen-elemen itu sehingga terjadi dialog.
Malam itu ada Mas Budi dari TPM Solo, Pak Khalid dari FPIS dan juga Kapolres
diminta Cak Nun untuk naik ke mimbar. Beberapa wakil elemen masyarakat itu
diberi ruang untuk saling membangun dialog dalam rangka merefleksi berbagai
peristiwa terutama yang menyangkut konflik horizontal bernuansa SARA yang
sering terjadi di Kota Solo.
Secara garis besar, semuanya mempunyai muara pemikiran yang sama yaitu bahwa
dalam hal terselenggaranya iklim sosial yang sehat di masyarakat sesungguhnya
yang sering terjadi antara kelompok dengan kelompok lain atau antara salah satu
kelompok dengan pemerintah adalah tumbuhnya kecenderungan saling berprasangka
satu sama lain. Maka dari itu Cak Nun mengusulkan agar acara-acara seperti ini
terus diselenggarakan sehingga terjadi interaksi kemanusiaan antara banyak
pihak di Solo.
Lantas dalam menyikapi masalah-masalah sosial di masyarakat, Cak Nun
berpendapat bahwa hendaknya kita bisa menyikapinya dengan berangkat dari
pengetahuan kita tentang hal-hal paling mendasar.
“Misalnya begini, kenapa banyak orang mendem (mabuk-mabukan)? Karena bodoh,
karena terpengaruh teman atau karena bingung sebab terlalu banyak punya uang?
Orang mabuk-mabukan itu sebab atau akibat? Lalu dalam skala yang lebih luas,
penyakit masyarakat itu masalah lokal, nasional, atau internasional? Oke,
asumsinya ini masalah internasional”, jelas Cak Nun mengajak para jamaah untuk
menemukan substansi masalah yang kita alami bersama di masyarakat. Dalam hal
seringnya terjadi konflik sosial di masyarakat, Cak Nun mengajak semua pihak
agar selalu mencermati diri sehingga lebih mampu untuk saling memberi ruang
satu sama lain sebab siapa tahu konflik muncul tidak karena disebabkan oleh
perbedaan tapi karena kita sedang diadu domba untuk saling membunuh satu sama
lain. Di sinilah letak pentingnya kesholehan pribadi dan sosial. “Sholeh itu
kemampuan diri untuk menghitung setiap perkataan dan perbuatan kita sehingga
mampu menakar apakah yang kita ucapkan dan lakukan itu kira-kira menimbulkan
mudharat atau manfaat kepada orang banyak”, Cak Nun menjelaskan.
“Kenapa kita seringkali bertengkar? Apa karena kita suka bertengkar atau ada
sebab-sebab tertentu sehingga kita saling bertengkar? kita dibuat bingung oleh
pihak yang seharusnya mengayomi kita, kita seringkali dibuat mengalami
kekecewaan baik secara psikologis, sosial, ekonomi, hukum dan sebagainya,
begitu terus menerus sehingga kita uring-uringan di antara kita sendiri dan
tidak menemukan musuh selain saudara sendiri”, Cak Nun mencoba menganalisis. Di
samping itu, menurut Cak Nun hal lain yang menjadi pemicu terjadinya
ketidakharmonisan dalam masyarakat sehingga memunculkan potensi konflik adalah
karena kita melakoni hidup diatur oleh orang dari luar kita.
“Contohnya kata “teroris”. Fenomena terorisme adalah karena anda diakali.
Teroris itu istilah dari Barat, teroris itu bahasa politik tapi disikapi secara
hukum. Kemudian istilah “Jihad”. Jihad itu apa saja daya upaya yang berusaha
mengubah keadaan seseorang menjadi lebih baik”, ujar Cak Nun.
Menjelang penghujung acara, Cak Nun mengajak semua jama’ah untuk belajar
dari konsep Baitullah. Dalam pandangan Cak Nun, Ka’bah hanyalah
“retorika” Allah karena mustahil Allah hanya “bertempat tinggal” di tempat itu.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak mungkin ke-Maha Besar-an Tuhan sanggup
ditampung oleh hanya satu tempat manapun di dunia ini. “Tuhan bersemayam
didalam hatimu, di dedaunan, dan semua tempat sehingga di mana pun adalah Baitullah“,
Cak Nun menjelaskan.
Selain menguraikan tentang konsep Baitullah, Cak Nun menyambungnya dengan
mengajak para hadirin untuk mencermati perilaku orang yang beribadah haji.
“Pada saat melakukan ibadah haji, banyak orang yang justru tidak ingat apapun
kecuali dirinya sendiri. Banyak orang berlomba-lomba ingin mencium Hajar Aswad
dengan dengan jalan menyingkirkan orang lain.
Kontekstualitasnya dengan kehidupan kita saat ini adalah banyak orang ingin
meraih kesuksesan di dunia ini meskipun dengan menyingkirkan banyak orang,”
sambung Cak Nun. Dalam pandangan Cak Nun, “sukses itu tidak bisa diraih dengan
menyingkirkan orang lain, sukses adalah karena anda diperkenankan oleh Tuhan”.
Dibagian akhir acara, bersama berbagai elemen masyarakat yang hadir malam
itu Cak Nun menyampaikan, “Apa yang kita lakukan malam hari ini adalah “menanam
biji”, dan esok hari Anda harus merawatnya terus-menerus agar ia tumbuh dan
menghasilkan buah kebaikan kepada banyak orang”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar