Totok “Gus Dob” Rahardjo mengawali kegiatan Macapat Syafaat Bulan Agustus
2012 kali ini dengan mengulas salah satu bahasan penting dari acara Padhang
mBulan beberapa hari sebelumnya. Mas Totok meneruskan apa yang disampaikan oleh
Cak Fuad ketika itu, yakni pemaknaan terhadap kandungan Surah Al-Hadid ayat 16.
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab
kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Disampaikan oleh Mas Totok bahwa ketika seorang pencuri memasuki sebuah
rumah, si empunya rumah sedang membaca Surah Al-Hadid ayat 16 ini. Beberapa
saat kemudian, si pencuri mengurungkan niatnya untuk mencuri setelah mendengar
pemilik rumah membaca ayat tersebut. Dalam literatur sejarah Islam, disebutkan
bahwa si pencuri itu adalah Fudhail bin Iyadh yang setelah peristiwa itu ia
memutuskan untuk berhenti sebagai pencuri dan kelak ia menjadi salah seorang
zuhud pada masa hidupnya.
Ayat ini turun dengan setting kehidupan sosial para sahabat Nabi Muhammad
ketika itu yang “budeg kupinge” (tuli telinga hatinya). Pada masa ini,
Nabi Muhammad menyebut kondisi demikian sebagai hubbudunya (cinta
dunia). Pelajaran penting dari ayat tersebut sebagaimana disampaikan oleh Mas
Totok yaitu bahwa sangat besar kemungkinan para ahli kitab akan mengalami “budeg
kuping”. Banyak orang sering membaca ayat-ayat suci, mendiskusikannya
dan mempidatokannya tapi justru tuli telinga hatinya sehingga tidak mampu
menangkap suara kemuliaan dari ayat-ayat Tuhan. Yang terjadi malahan, orang
yang kita tidak perhitungkan mendengar kebenaran justru dialah yang paling peka
terhadap gelombang dan frekuensi kebenaran tersebut.
Apa yang terjadi pada umat Islam sekarang ini sebagaimana yang digambarkan
oleh Nabi Muhammad sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits: “Beberapa kelompok
manusia akan memperebutkan kalian seperti halnya orang-orang rakus yang
memperebutkan hidangan.”
Seorang sahabat bertanya, “Apakah karena kami waktu itu sedikit, ya
Rasulullah?”.
Jawab Rasul, “Tidak! Bahkan waktu itu jumlah kalian sangat banyak. Akan
tetapi kalian waktu itu seperti buih lautan. Dan sungguh, rasa takut dan gentar
telah hilang dari dada musuh kalian. Dan bercokollah dalam dada kalian penyakit
wahn (terlalu cinta dunia dan terlalu takut mati)”.
Karakter perkembangan peradaban manusia pada masa sekarang didominasi oleh
cara pandang yang kapitalistik sehingga yang berkembang didalam mayoritas
denyut kehidupan masyrakat hanya 2 macam, yaitu “to be” (menjadi ) dan
“to have” (memiliki). Kehidupan manusia telah direkonstruksi
sedemikian rupa sehingga memandang keinginan seolah-olah tampak sebagai
kebutuhan. Akibatnya, manusia disibukkan untuk melakukan segala sesuatu agar
memiliki apapun guna memenuhi gaya hidup yang sedang berkembang. Sementara itu,
pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab terhadap pendidikan masyarakat
justru melakukan dekonstruksi moral melalui berbagai macam saluran komunikasi
publik maupun komunikasi sosial yang ada.
Sesi selanjutnya, giliran Sabrang berbagi cerita dari kelilingnya Letto ke
belasan SMP dan SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Sabrang menemukan
banyak sekali fenomena menarik yang layak untuk didiskusikan dan disikapi dari
pergaulan dan interaksinya dengan para remaja dan generasi muda yang sekarang
sedang menjalani masa pendidikan di sekolah. Dari beberapa hal yang ditemukan
oleh Sabrang itu, salah satu hal yang penting menurutnya adalah, ia
menyimpulkan bahwa pendidikan itu berbanding terbalik dengan kreatifitas.
Sabrang melihat sejarah awal diselenggarakannya pendidikan untuk memenuhi
tuntutan dunia industri yang menuntut adanya division of labuor
(pembagian kerja) yang jelas dalam bidang-bidang pekerjaan manusia didalam
masyarakat. Adanya sistem persekolahan yang demikian menyebabkan bidang-bidang
eksakta dan teknis menjadi perhatian utama sementara wilayah yang mencakup
kemanusiaan (ilmu sastra, seni, ilmu sosial, etika dan sebagainya) cenderung
termarginalkan.
Corak pendidikan dalam sistem persekolahan seperti ini lama-kelamaan
menampakkan diri sebagai wajah pendidikan yang kering dari kreatifitas dan
inovasi yang memperlihatkan gejala mayor hanya menghasilkan “generasi tukang”,
bukan inovator atau kreator. “Karena untuk berinovasi itu membutuhkan
keberanian sedangkan kebiasaan umum yang terjadi sekarang, dunia pendidikan
justru menyebabkan peserta didik menjadi takut salah. Esensi pendidikan adalah
mempersiapkan peserta didik agar siap menghadapi masa depan yang tidak/belum
mereka perhitungkan serta menumbuhkan kemampuan mereka untuk beradaptasi
terhadap berbagai kemungkinan yang akan mereka temui dimasa mendatang,”
demikian papar Sabrang.
Hal lain yang dirumuskan oleh Sabrang dari hasil dialektikanya dengan para
pelajar SMP dan SMA di Jakarta beberapa waktu yang lalu adalah bahwa guru
terbaik adalah pengalaman, sedangkan harta yang paling berharga yaitu ilmu.
Kemudian Sabrang menjabarkan bahwa pengalaman itu tidak berarti harus selalu
yang bersifat susah/sulit tetapi hal-hal sederhana yang kita temukan sehari-hari
bisa jadi belum sungguh-sungguh kita fahami kalau benar-benar kita teliti dan
cermati. Menyambung pembicaraan ini, Sabrang mengajak hadirin untuk memahami
beda antara “pengetahuan” dan “ilmu”. Dalam pandangan Sabrang, pengetahuan
adalah hal-hal yang kita peroleh karena kita diberi tahu, sedangkan ilmu
merupakan pencapaian seseorang sebagai akibat dari telah bekerjanya akal. “Kita
tahu ini satu (1) dan ini dua (2) setelah — misalnya — bapak atau ibu kita
memberi tahu. Itu namanya pengetahuan. Tapi kalau sesudah kita tahu 1 dan 2
lantas kita bisa menemukan cara berpikir tertentu yang akhirnya kita bisa
mengerti 9 itu seberapa, 12 itu seberapa, itu ilmu,” jelas Sabrang kemudian.
Menurut Sabrang, telah terjadi kekeliruan cara berfikir mengenai “jalan
hidup” yang diawali oleh adanya penyeragaman tentang tolok ukur kecerdasan
seorang anak. Untuk itu Sabrang mengajukan gagasan tentang “perlukah melakukan
klarifikasi terhadap anak didik tentang benar-salah ketika mengerjakan soal?”.
Merespons pertanyaan Sabrang ini, Pak Totok berpendapat bahwa yang perlu
dilihat terlebih dahulu adalah orientasi awal pendirian sekolah. Ini penting
karena pada tataran praktis, hampir setiap orang setuju dengan kredo
“sekolahlah biar pinter”. Tentu bukan pinter nya yang menjadi soal namun
bagaimana kita membuat rumusan atau ukuran tentang yang disebut pinter
tersebut.
Lalu Sabrang mencoba menarik garis dari pembicaraan soal pendidikan ini
yakni bahwa sekarang ini jumlah sarjana sangat banyak yang dengan begitu bisa
dibilang telah terjadi inflasi sarjana sehingga akibatnya seolah-olah sarjana
itu tidak ada harganya. Kesimpulan Sabrang pada sesi awal Macapat Syafa’at 17
Agustus 2012 malam itu adalah “kamu belajar apa saja, sinau ilmu opo wae
pasti akan ketemu Gusti Allah”. Sementara Pak Totok lebih melihat dari sisi
psikologi pendidikan yaitu bahwa kita tidak bisa menyerahkan anak-anak hanya
pada sekolah (formal) karena secara alamiah anak-anak mempunyai potensi
kecerdasan yang sangat kompleks yang harus dilatih dan didorong serta ditemukan
untuk kemudian dikembangkan sehingga kelak bisa menjadi piranti seseorang untuk
menjalani hidup dimasa depan.
Beberapa saat setelah lewat tengah malam, Cak Nun mengawali pembicaraan.
“Kita ambil 1 poin penting bahwa tidak ada selain Al-Qur’an yang disitu Tuhan
menuturkan sendiri kata-katanya”, demikian Cak Nun membuka diskusi.
“Kata pertama yang turun (dalam Al-Qur’an) adalah Iqra’, kenapa?
Yang biasa disuruh membaca itu siapa? Membaca itu dalam pengertian yang lebih
luas ya moco nulis (membaca dan menulis). Artinya, hidup itu
pendidikan. Jadi urusannya itu nanti lulus apa nggak lulus. Makanya
puasa itu pendidikan radikal (revolusi), sholat pendidikan kultural (evolusi).
Kenapa pendidikan? Karena ‘nama’ Tuhan yang paling utama itu Robbun, yang
dari situ kemudian kita mengenal kata tarbiyah. Dari sini
kita bisa menilai bahwa adanya negara, partai politik dan apa saja itu nanti
urusannya dengan lulus atau tidak lulus. Nah, jadi seluruh jalur ilmu itu nanti
(seharusnya) menuju pada Allah, menyatu dengan Allah. Yang namanya lulus itu
anda makrifat man arrafa nafsahu, faqad arrafa robbahu”, demikian
paparan Cak Nun.
Selanjutnya Cak Nun memperluas pembicaraan dengan menyampaikan kecenderungan
manusia sekarang yang lebih condong mencari segala sesuatu yang sebenarnya akan
ditinggalkan. “Cita-cita sesungguhnya mayoritas manusia masa kini adalah uang.
Menjadi presiden, menteri, pejabat negara, dokter, ulama atau apasaja itu hanya
pura-pura, karena tujuan sebenarnya adalah uang. Kalau orang ditanya apa
cita-citamu? Lalu ia menjawab dokter itu sebenarnya tidak berhenti disitu.
Dokter disitu karena dipandang pekerjaan itu akan cepat menghasilkan banyak
uang. Begitu pula dengan profesi dan pekerjaan lain,” Cak Nun menambahkan.
Pada bagian selanjutnya, Cak Nun mengajak hadirin untuk mencermati ide
konsep awal pendidikan dengan belajar dari ayat-ayat Allah. “Ayat Allah itu
banyak yang terhampar (mutasyabihat) dari pada yang tercatat. Nah,
dari situ lalu kita bertanya, lebih utama mana fakta atau ilmu?” tanya Cak Nun.
Dalam pandangan Cak Nun, penciptaan manusia itu diawali oleh suatu “skema”
atau ide tertentu dari Tuhan. Maka kemudian kita harus bertanya, apakah seluruh
sistem pendidikan kita sudah punya kesadaran untuk memahami kehendak Tuhan atas
setiap individu manusia? Didasari oleh cara berfikir seperti ini, Cak Nun
menegaskan bahwa tugas guru sesungguhnya adalah menemani siswa/murid agar ingat
atau menemukan dirinya sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan. Tapi lanjut Cak
Nun, pendidikan sekarang cenderung menambah lupa anak pada dirinya.
“Kalau anda melihat manusia sekitar anda, apakah anda melihat kita akan
lulus?” kembali Cak Nun mengajukan pertanyaan.
Pada bagian selanjutnya, Cak Nun mengingatkan hadirin dengan lagu qasidah
“Kota Santri” yang pernah ngetop beberap puluh tahun silam. Dengan menyimak dan
mencermati bait-bait dalam lagu itu Cak Nun menguraikan beberapa hal, yaitu
bahwa dari kalimat lagu Kota Santri itu kita tidak menemukan konsep pendidikan
ideal.
“Coba perhatikan lagu itu menunjukkan kepada kita bahwa tanda santri adalah berbusana
rapi, menyandang kitab suci, siang pagi mengaji dan banyak ulama kiai.
Kalau santri itu selalu berbusana rapi berarti dia nggak bertani dong?
Nggak mbecak dan sebagainya? Padahal Islam tidak terutama
ditandai oleh identitasmu tapi oleh perilakumu. Dari bait lagu itu kita bisa
saja memaknai bahwa bukan pelem (mangga) tumbuh sebagai pelem
(mangga) tapi mangga entah bagaimana harus bisa mengaji. Ini artinya konsep
seperti itu tidak mengcover begitu beragamnya manusia”, papar Cak Nun secara
analogis.
Masih menjelaskan soal pendidikan, Cak Nun beranggapan bahwa kadang kita
sebagai orang tua seringkali menjadi “penjajah” bagi anak kita sendiri sebab
kita terlalu memaksakan sesuatu/menginginkan anak kita menjadi sesuatu tanpa
memperhitungkan bakat, minat dan hak anak untuk tumbuh sebagaimana potensi yang
dimilikinya.
“Juara itu bukan soal utama, tapi bagaimana atmosfernya seseorang itu bisa
menjadi juara, itu yang lebih penting. Hebat itu boleh tapi jangan menghebati
orang lain, pinter itu boleh tapi jangan minteri orang lain.
Kita orang tua tidak tahu banyak tentang anak-anak kita sehingga kita harus
bekerjasama dengan dia (anak-anak itu) agar mengenali dirinya.
Cak Nun mengungkapkan keyakinan beliau bahwa kesadaran baru dari beberapa
kelompok masyarakat kita terhadap konsep pendidikan adalah tanda kebangkitan
masyarakat itu sendiri.
“Sesungguhnya pada momentum alam ini kita mempunyai tingkat pemahaman
tertentu pada Tuhan, jadi mari kita jadikan alam sebagai sarana atau alat untuk
mengingat-ingat kembali berbagai hal,” demikian Cak Nun menuturkan pada akhir
acara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar