Sesaat yang lalu baru saja pamitan seorang tamu dari langit sambil
mengajarkan makna yang cukup membuat kepalaku pusing. Tamu itu tak lain
adalah sesuatu yang menyamar untuk iseng-iseng memancing pemahamanku
terhadap hakikat agama yang ada di muka bumi ini. Diskusi pun berlanjut
pada sebuah amsal di mana secara tidak sengaja tamu tersebut membawakan
oleh-oleh berupa kain batik.
Ya, kain batik. Itulah yang ia
sodorkan padaku sebagai oleh-oleh. Tak berapa lama, sambil menyeruput
teh Sorowito oplosan teh Gopek ramuanku tamu tersebut tiba-tiba berkata
“Kain ini sebelum dicoretkan warna-warni yang kemudian disebut dengan
batik adalah kain putih biasa. Itu adalah simbol sebagaimana kehidupanmu
saat kamu dilahirkan. Kamu tak lain juga manusia seperti yang lainnya.
Tak beda pula dengan para orang suci pembawa risalah-risalah Tuhan.
Kemudian ada yang menghendaki kamu dicoretkan motif tertentu sehingga
itu membentuk kepribadianmu saat ini.”
Sejenak ku terperangah
dengan kata-kata yang ibarat bola menggelinding tanpa ada yang
menendangnya. “Apa maksudmu dengan mengatakan itu semua?” tanyaku.
“Begini saja, saya hanya sekedar diminta untuk menyampaikan padau suatu
ilmu. Ilmu yang paling dasar dalam kehidupan. Kelak suatu ketika kamu
terpojok, ilmu ini akan dapat kamu gunakan sebagai alas pemahamanmu
dalam berkehidupan di dunia”, papar tamu itu.
“Anda tahu kan, bahwa selain motif, tentu kain ini nantinya akan diwarnai bukan?” tanyanya padaku.
“Tentu, karena jika hanya motif saja, kain ini tak ubahnya masih sekedar sketsa saja”, jawabku.
“Nah,
kini kamu mulai paham, ketika kamu lahir, kemudian didik dalam buaian
oleh kedua orang tuamu, kamu tak ubahnya sedang dibuat sketsa. Tentu
saja sketsa tetaplah sketsa, bukan final gambar yang dimaksud. Masih
mungkin akan ada perubahan di sana-sini. Tuhan kemudian terlibat dalam
mengarahkan sketsa gambar apa yang akan dilukiskan pada kain itu. Apakah
motif kawung, parang rusak, cendrawasih merak atau
apapun nantinya. Sketsa akan mulai nampak jelas menjelang kamu remaja,
dan saat itulah Tuhan mulai memberikan inspirasi warna apa yang sesuai
bagimu dengan memberikan ilham kepada kedua orang tuamu, lingkunganmu
maupun alam sekitarmu”, jelasnya.
“Astaga, orang ini siapa ya, aku tiba-tiba merasa agak aneh dengan arah pembicaraanya, tapi baiklah ku ikuti dulu saja”, kataku dalam hati.
Begitulah
dirimu tak ubahnya kain itu bukan? Tanyanya padaku. “Saat warna pertama
mulai tertuang, kamu ibarat sedang diarahkan untuk memperoleh pemahaman
tentang agama yang akan kamu pilih nantinya. Tapi bisa jadi juga kamu
sengaja dicelupkan oleh orang tuamu ke dalam larutan berwarna seluruhnya
sehingga kamu hanya ada satu warna saja. Motif pun jadi lenyap,
begitulah karaktermu. Itu biasa juga terjadi karena otoritas kedua orang
tua akan dirimu secara penuh. Ibarat agama, kamu sedang disuruh
mengamati, mencermati dan nantinya memilih namun oleh orang tuamu kamu
sengaja dipilihkan alias dijodohkan”, jelasnya.
“Apa maksud Anda
berbicara hal itu pada saya. Apa hak Anda untuk menghikmahi saya dan
hidup saya?” bentakku. “Tenang kawan, ini hanyalah cermin kehidupan Anda
yang saya bawakan dalam sepotong kain batik ini. Saya yakin suatu saat
Anda akan benar-benar memakainya. Sekarang Anda baru mengamati saja
bukan? Kain ini baru saja saya serahkan kepada Anda, tentu saja Anda
butuh waktu untuk memikirkan model jahitannya dst dulu kan. Atau bisa
jadi Anda mungkin tak begitu suka dengan kain batik yang ini dan
memutuskan untuk menjahitkan kain batik yang lain yang motifnya lebih
Anda sukai sehingga Anda mantab memakainya kelak!” sergahnya padaku.
“Dalam beragama, manusia tak ubahnya sama seperti memilih kain batik tersebut. Ada yang suka batik lawasan
ada yang suka batik baru modifikasi. Ada yang suka warna gelap ada yang
suka warna cerah. Motif bisa sama persis namun selera orang terhadap
warna pasti berbeda-beda. Ibarat motif, anda pasti sedang mengamati
motif Hindu, Budha, Nasrani, Islam dst. Sama-sama memilih Hindu, namun
lain orang lain warna kecenderungannya. Anda mungkin suka motif Hindu
warna gelap sedangkan saya suka motif Hindu tapi warna cerah. Ibarat
batik parang rusak, selain warna dan motif juga karakter asal coraknya pasti menjadi pertimbangan anda bukan? Misalnya parang rusak
model Solo atau model Jogja, pasti itu juga sudah kecenderungan
tersendiri. Misal pada agama Islam, anda juga memikirkan Islam yang mana
ya? Yang model Arab atau yang model Jawa, atau justru Islam model
Amerika?”
“Jika anda sudah memilih motif, warna dan khas corak,
selanjutnya pastilah anda memikirkan hal lain lagi. Untuk pria atau
wanita ya m otif ini baiknya. Budha yang coraknya begini untuk
dijalankan pria atau wanita ya. Oh… Ternyata Anda juga baru tahu bahwa
Agama juga mengenal gender. Tentu saja iya. Dalam agama gender
pasti terjadi sebagaimana corak kain dan penggunaannya. Motif kecil
rapat biasanya cocok untuk wanita, dan motif besar lebih pas buat pria.
Dalam agama apapun ada diferensiasi pria dan wanita dan itu juga menjadi
alasan mengapa pria dan wanita memiliki kecenderungan naluri yang
berbeda. Sama-sama motif Sidomukti atau Wahyu Tumurun
misalnya pasti masih saja ada yang lebih dilirik oleh wanita maupun
pria. Ya…itu adalah masalah harganya berapa….”, selorohnya sambil
terkekeh-kekeh.
“Aku mulai berpikir dan memutar otak dengan cepat
mencari maksud dari tamu ini. Bagaimana dia bisa menebak pikiranku
dengan begitu cepat. Ah sudahlah, mungkin saja ini adalah kebetulan
saja”, kataku dalam hati.
“Nah akhirnya kamu bertanya-tanya kan
harga apa yang dimaksud? Harga ini urusannya dengan nilai. Sama-sama
Islam, sama-sama sudah sembahyang, sama-sama sudah Haji. Nah masih saja
ada yang dicari oleh pria dan wanita dalam beragama, yaitu adalah Islam
yang bagaimana yang lebih baik diambil untuk lebih cepat memperoleh
surga”, katanya mengagetkanku kemudian dia berpamitan tanpa menungguku
mengatakan sepatah katapun kecuali Monggo….!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar