Sabtu, 02 Februari 2013

Tuhan yang Tahu Akidahmu, Masyarakat Butuh Akhlakmu

Macapat Syafa’at 17 November kali ini diawali oleh Pak Toto dengan mempersilahkan jama’ah dari Magetan dan Ponorogo untuk naik pentas untuk bersapa tegur langsung dengan seluruh jama’ah. Kawan-kawan dari 2 kabupaten di Jawa Timur ini sedang merintis lingkaran maiyah baru ditempatnya masing-masing dan meminta dukungan seluruh jama’ah yang hadir malam itu agar apa yang kini tengah mereka rintis itu akhirnya dapat menjadi embrio lahirnya lingkaran Maiyah baru mengikuti beberapa kota di Indonesia yang telah berjalan jauh terlebih dahulu.
Sebelum kawan-kawan Jama’ah Maiyah dari Magetan dan Ponorogo naik ke panggung, Pak Toto telah menyinggung adanya kecenderungan dari para Jama’ah bahwa muara akhir dari kegiaan Maiyah adalah mengundang CNKK. “Ini harus dibenahi dulu. Maiyah itu lebih mengutamakan prosesnya, Maiyah adalah membangun interaksi dan dialektka yang seseimbang mungkin bagi terciptanya dialog dan kegiatan saling belajar antar sesama dengan mengedepankan akal sehat dan kemurniaan persaudaraan. Yang penting spirit Maiyah yang harus dikembangkan. Maiyah tidak boleh terjebak pada birokratisme,” demikian tutur Pak Toto.

Melanjutkan pembicaraan, Pak Toto mengemukakan bahwa seluruh kegaduhan sosial politik dan kemasyarakatan yang terjadi hingga kini di masyarakat kita ini boleh jadi penyebabnya adalah akhlak yang tidak beres. “Kalau bicara akhlak itu kemungkinannya ada dua, yaitu terpuji atau tercela. Ini dimensinya tidak hanya menyangkut personal namun juga berlaku untuk level sosial termasuk di dalamnya akhlak politik, akhlak ekonomi, dan sebagainya.”

Menjelang pukul 23.00 WIB KiaiKanjeng naik pentas dan langsung membawakan Hasbunallah. Setelah itu Cak Nun membuka komunikasi dengan jama’ah. Sebelum memulai “medhar sabdho” Cak Nun mengajak seluruh jama’ah mengawali Maiyahan dengan membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas. “Mari terlebih dahulu memulai semua ini dengan membaca Al-Fatihah, dan 3 Qul dengan hajat utama yaitu agar anda tidak dibiarkan oleh Allah kekurangan rezeki, agar Allah tidak membiarkan hati anda semua dikuasai oleh kebencian”, terang Cak Nun.

Pada purwa pembicaraan Cak Nun menyampaikan “Karena kita sekarang berada di tengah ketegangan dan ketidakpercayaan satu sama lain. Antara rakyat dengan pemerintah, antara umat beragama maupun antara sesama umat sehingga ketegangan-ketegangan dan kesalingtidakpercayaan itu melahirkan kebencian. Semua ini menyebabkan terjadinya arus pendek sehingga gampang mbledos,” papar Cak Nun.

Cak Nun kemudian meyambung pembicaraan dengan mengutarakan mengenai identitas. “Ada identitas yang cair dan ada identitas yang padat. Misalnya Rasulullah berkata, “barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya dia memuliakan tamunya. Ini padat atau cair? Lantas Maiyah ini cair apa padat? NU padat atau cair? Muhammadiyah? Kalau engkau padat, engkau bisa patah? Tapi engkau harus tahu kapan harus padat dan kapan seharusnya cair,” Cak Nun menjelaskan.

Meneruskan uraiannya, Cak Nun menjelaskan bahwa struktur anatomi tubuh kita terdiri dari yang padat dan yang cair sehingga kita semestinya memakai ketepatan proporsi untuk bersikap terhadap identitas tersebut. “Maiyah ini sudah “ambeng” bukan “tumpeng”. “Ambeng” itu kita sudah duduk sama-sama, lain dengan tumpeng yang harus dibuat lancip di pucuknya. Maka yang kita lakukan sekarang adalah pengajian, bukan pengkajian. Kalau pengkajian itu sebuah peristiwa akal, sedangkan pengajian bersifat ruhaniah dan intelektual, yaitu mengusahakan pengetahuan dan pengalaman agar “aji” (martabat/tingkat keberhargaan) hidup kita meningkat. Orang-orang Maiyah berkumpul di sini karena merasa sama-sama tidak pandai dan tidak berilmu makanya kita berkumpul seperti ini untuk mencari ilmu. Orang datang ke sini berkeinginan untuk menjadi baik,” jelas Cak Nun.

Lalu Cak Nun melanjutkan, “Apakah di sini anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau engkau menjawab “bisa”, lho, itu rak cangkemmu? Lha atimu? (itu kan mulutmu, lha hatimu?). Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI,” kata Cak Nun disambut tawa jama’ah.

Kemudian Cak Nun meneruskan cara berpikir ini, “Indikator benar atau tidak-nya akidah itu bisa diukur atau tidak? Perlu tidak kita ngurusi imannya orang? Mas Toto ini ditakdirkan Tuhan tidak pintar Bahasa Arab dan mengaji agar tidak pandai ngapusi orang. Jadi, yang ditunggu orang itu akhlaknya atau akidahnya? Maka kita nanti akan mengetahui bahwa Rasulullah itu diutus untuk menyempurnakan akhlak.

Dalam menjelaskan soal akhlak dan akidah ini, Cak Nun menegaskan bahwa dalam filosofi Barat ada istilah sekuler, yaitu memisahkan urusan agama dan pengetahuan. Di sini ada dikotomi, maksudnya dalam institusi modern sekuler itu urusan baik-buruk, benar-salah, indah-tidak indah itu masing-masing dipisahkan. Biologi itu tidak ada urusan dengan agama dan dengan Tuhan. Matematika juga tidak. Padahal sebenarnya, jika kita belajar apapun dengan niat ingin menikmati kebesaran Tuhan, itu jadi pelajaran agama.

Paparan Cak Nun ini sejenak dijeda dengan penampilan Hayya, putri Cak Nun yang membawakan Someone Like You (Adele) dan I Have Nothing (Whitney Houston). Putri Cak Nun yang masih duduk di SMP ini telah memperlihatkan bakat menyanyi yang diwarisi dari kedua orang tuanya sehingga dua lagu yang diwakan malam itu memukau penonton.

Selesai dengan penampilan Hayya, Cak Nun menjelaskan bahwa beliau dan Mbak Novia tidak bermaksud memaksa atau menginginkan anak-anaknya jadi penyanyi. Menurut Cak Nun, sebagai orang tua, beliau dan Mbak Novia hanya berusaha menemani anaknya agar bertemu dengan apa yang telah dikehendaki Tuhan diri mereka. Soal sukses atau tidak sukses, biar anak-anak sendiri yang merumuskan dan menemukannya. “Sukses adalah ketika anda menemukan jalan seperti yang dikehendaki Tuhan atas diri anda,” ungkap Cak Nun.

Selanjutnya Cak Nun meneruskan bahasan di awal tadi yakni perihal “padat” dan “cair”.
“Menghormati tamu itu baik tapi harus juga didukung oleh kebenaran dan keindahan. Ini bisa dilakukan di mana pun termasuk di wilayah manajemen pemerintahan dan sebagainya. Nah, di sini (Maiyahan) keindahan itu menjadi bagian dari kebenaran, bukan hanya aksesoris. Keindahan itu bagian yang substansial dari kebenaran sebab tidak mungkin Allah menciptakan segala sesuatu yang indah tanpa mengandung kebenaran. Dan sekarang umat Islam tak melihat keindahan itu tapi melihat apa yang “padat”. Yang dilihat pakaiannya/kostumnya, gayanya dan penampakan-penampakan lahiriahnya,” tutur Cak Nun. Untuk mejelaskan soal keindahan tersebut, Cak Nun memberi contoh dari Al-Qur’an. Menurut Cak Nun, Al- Qur’an yang berisi kebenaran dan kebaikan itu pasti selalu disertai oleh keindahan. Pada aspek tekstual, keindahan itu tampak pada persajakan, rima, morfem-ologi, fonem-ologi dan sebagainya dari ayat-ayat di dalam Al-Qur’an.

Cak Nun melanjutkan pembicaraan dengan mengambil pelajaran dari permasalahan di Sampang beberapa waktu yang lalu. “Oleh seorang habib, saya dibilang lebih berbahaya dari Syi’ah. Tapi saya tidak marah. Saya malah heran kok ternyata hebat benar saya ini bisa lebih hebat dari Ahmadinejad (disambut tawa jama’ah). Saya tidak marah dibilang lebih berbahaya dari Syi’ah. Saya tidak mau ngurusi hal-hal seperti itu karena selama hidup ini saya mengerahkan seluruh waktu, usia, dan tenaga saya untuk mencari Islamnya Muhammad.”

Selesai dengan uraiannya, Cak Nun mempersilahkan Mas Helmi untuk memfasilitasi berlangsungnya interaksi dan dialog pada malam itu. Dari beberapa pertanyaan yang mengemuka, diantaranya adalah tentang bagaimana kita harus berakhlak pada negara yang tidak bersikap ihsan kepada kita. Kemudian dari seorang jama’ah perempuan bertanya soal fenomena aliran sesat yang merebak beberapa waktu terakhir di Indonesia. Lalu ada juga yang menanyakan, bagaimana cara kita mengetahui akhlak itu cair, terus yang ini padat?

Pak Mustofa W. Hasyim merespons pertanyaan soal akhlak terlebih dahulu. Dalam pandangan Pak Mustofa, akhlak itu harus mengalir. Tapi ia akan memadat karena ada kesepakatan-kesepakatan sehingga mengendap menjadi norma. Dengan begitu akhlak akan menjadi padat sekali ketika menjadi norma. Sementara itu, menanggapi hal ini Cak Nun mengajak jama’ah untuk membuat maping terlebih dahulu. “Dalam idiomatik ilmu sosial, nilai itu cair, norma ½ padat dan hukum itu padat. Nah, akhlak itu pada dasarnya cair tapi butuh padatan-padatan hingga sampai wilayah dan level tertentu. Padatan akhlak pada wilayah keluarga tidak seperti padatan hukum. Sholat itu padat tapi yang bisa memadatkan hanya Allah. Maka saya tidak bisa memaksa orang untuk beriman.”

Lalu Cak Nun menceritakan pengalamannya dahulu ketika “dipaksa” untuk bergabung dengan ICMI ( Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). “Dulu saya pernah diajak masuk ICMI dan pada suatu saat ada rapat di dalam pesawat yang hasilnya meminta agar seluruh anggota ICMI untuk melakukan sholat. Tapi saya menolak. Hubungan kita dengan Allah itu tidak boleh diikut campuri oleh yang selain Allah. Jadi kalau manusia atau pemerintah memaksa/mewajibkan orang untuk sholat, itu artinya negara mengambil alih wewenangnya Allah. Ini yang dimaksud bahwa yang bisa memadatkan sholat itu hanya Allah. Orang tidak boleh memaksa atau mengharuskan orang lain untuk melakukannya. Dalam urusan keluarga, orang tua boleh mengarahkan anaknya tapi harus sampai level tertentu, sampai batas wewenang Tuhan atas manusia.” jelas Cak Nun.

Menanggapi pertanyaan tentang bagaimana kita berakhlak kepada negara/pemerintah yang tidak berakhlak kepada rakyatnya, Cak Nun menjawab, “Ini bahkan tidak hanya tidak berakhlak tapi sudah gagal sebagai negara. Tapi yang gagal negara dan pemerintahnya, sementara rakyatnya sangat sukses dan berhasil. Bangsa Indonesia susah diajak berevolusi karena bangsa Indonesia sangat kuat sehingga tidak merasa tersakiti. Maka tidak ada pekerjaan yang paling enak melebihi Pemerintah Indonesia karena rakyat tak banyak bergantung pada pemerintah. Kalau di negara tetangga atau di banyak negara Eropa, pemerintah sibuk ngurusi dan melayani rakyat karena di sana rakyatnya lemah, tapi kalau di sini rakyat sudah sangat kuat sehingga tidak perlu bergantung terlalu serius kepada pemerintahnya.”

Di antara jama’ah ada yang meminta pendapat Cak Nun soal Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu. Untuk soal ini Cak Nun berpandangan bahwa kita belum tahu eskalasinya, karena ibaratnya ini baru ronde pertama. Yang jelas kita harus berbaik sangka. Bahwa pada kenyataannya sangat susah untuk menjadi orang baik di Indonesia. Sebenarnya apa yang dilakukan itu sangat biasa tapi karena selama ini kita berada diantara para “bandit”, maka kita melihat apa yang diperagakan oleh beberapa pejabat itu secara berlebihan. “Kalau seorang pemimpin turun ke tengah masyarakat dan rajin membangun komunikasi dengan rakyat dengan kerendah-hatian itu kan memang sudah seharusnya. Itu bukan hal yang luar biasa. Jadi, kebenaran itu terasa mewah karena sehari-hari kita berada di antara ketidakbenaran-ketidakbenaran. Kebaikan itu kita pandang sebagai sebuah kemewahan karena setiap hari kita berada di tengah-tengah ketidak-baikan dan kesombongan,” Cak Nun memaparkan.

Selanjutnya, menanggapi pertanyaan jama’ah soal aliran sesat, Cak Nun balik bertanya terlebih dahulu, “Dari mana dan bagaimana anda memahami istilah sesat itu? Istilah itu bisa dipertanggungjawabkan secara substansial dan denotatif atau itu hanya bahasa umum?” Menurut Cak Nun kita lebih baik jangan cepat ikut-ikutan gampang percaya terhadap cap-cap atau stigma-stigma terhadap pandangan tentang sesuatu hal. Lebih utama agar kita melakukan penelitian dan pencarian ilmu sampai selengkap-lengkapnya terlebih dahulu sebelum menilai sesuatu. “Kalau engkau capek dan tidak ada waktu melakukan semua itu, ya sudah, jangan kau pikirkan,” kata Cak Nun.

“Maka jangan sesat atau tidak sesat yang menjadi konsentrasi pemahamanmu tapi produknya memecah belah atau mempersatukan manusia? Kalau itu memecah belah, tinggalkan. Nah, Maiyah ini cair sehingga Anda sama sekali tidak punya kewajiban untuk taat kepada saya,” urai Cak Nun memungkasi.

Setelah itu Mas Helmi dari Progress melakukan resume dari seluruh pebicaraan malam itu. Beberapa yang penting yang disampaikan Mas Helmi, bahwa soal akhlak dan akidah itu seharusnya mempunyai implikasi keluar dan kedalam diri. Ke dalam akan semakin menegaskan kualitas diri terhadap kebenaran dan ke luar yakni akan berupa sikap sosial yang semakin positif. Mas Helmi juga melihat bahwa tema Mocopat Syafa’at 17 November 2012 ini (pembelajaran soal akidah dan akhlak) bisa terkait dengan wacana kontrak sosial di antara manusia yang sudah sedari dulu menjadi perhatian para filosof sosial, yakni bagaimana kita harus menempatkan urusan akhlak dan akidah pada posisi yang sebenar-benarnya, sebaik-baiknya dan seindah-indahnya.

Pada bagian ujung acara, Cak Nun bercerita bahwa suatu hari dahulu, Pak Kunto (Kuntowijoyo) terkena serangan stroke. “Nah, pada saat itu beberapa teman pak Kunto bilang ke Bu Kunto bahwa misal pun Pak Kunto sembuh, beliau akan lumpuh. Ini tentu membuat Bu Kunto bersedih. Lalu saya temui Pak Kunto, dan ketika itu saya bisikkan ke telinga beliau, Yaa Khaaliq Ya Baari Yaa Mushawwi. Lalu beberapa waktu kemudian Pak Kunto ternyata justru menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih hebat dan lebih bagus. Ini artinya, kalau anda mengalami penderitaan oleh manusia, anda mendapat hak langit untuk meminta Iradah- Nya,” demikian Cak Nun memberikan penjelasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar