Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat
rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan.
Hari-hari penghancur logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk
kejujuran. Hari-hari di mana pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi oleh
kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana manusia,
kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak
memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuaran dalam menatap hal-hal di dalam
kegelapan – tapi lebih dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda
antara cahaya dan kegelapan.
Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan alamat
kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga
kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan kebudayaannya. Inilah
hari-hari di mana standar-standar pengetahuan bersifat terlalu cair, di mana
pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, di mana kepastian
hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya
sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya.
Inilah hari-hari di mana makhluk kekal yang bernama rakyat tidak dipandang
sebagai Ibu dari siapapun, melainkan lebih diperlakukan sebagai anak-anak
kecil, yang sangat banyak di antara mereka diperhatikan hanya sebagai anak tiri
yang hampir selalu dianggap potensial untuk bodoh dan bersalah. Inilah
hari-hari di mana makhluk yang bernama politik tidak lagi mengenali dirinya
sebagai anak dari kedaulatan rakyat. Di mana para pelakunya melakukan
perjalanan sejarah yang berpangkal tidak di kepentingan rakyat dan berujung
juga tidak di kesejahteraan rakyat, tanpa kondisi itu disadari oleh
subyek-subyeknya.
Para pelaku kedhaliman merasa tidak enak terhadap perasaannya sendiri,
sehingga mereka berusaha menutup-nutupinya bungkus kemuliaan dan label
keluruhan – sampai pada akhirnya mereka kehilangan obyektivitas dan benar-benar
percaya bahwa yang mereka lakukan memang bukan kedhaliman. Para pekerja
kediktatoran bisa meminta bantuan kepada para pekerja ilmu untuk meyakinkan
diri mereka bahwa itu bukan kediktatoran. Para penerap monopoli, oligopoly,
subyektivisme kekuasaan dan hedonism keduniaan, bisa dengan gampang membeli
‘parfum-parfum’ untuk mengubah kebusukan menjadi seakan-akan berbau harum,
sampai akhirnya mereka yakin bahwa yang terpancar dari diri mereka adalah
aroma-aroma harum.
Orang-orang yang paling tidak eling dengan mantap menganjurkan agar orang
lain eling. Orang-orang merasa menjalankan etos waspada, padahal yang
diwaspadainya adalah geliat dan kemungkinan gerak dari musuh-musuh yang mereka
ciptakan sendiri: kewaspadaan bukan lagi kehati-hatian berperilaku di hadapan
mata pandang Tuhan, moralitas dan nurani kemanusiaan. Adapun — siapakah yang
sesungguhnya gila, edan dan sinting di zaman serba kabur dan rabun ini– tatkala
hampir setiap ‘aku’ dan ‘kami’ telah sedemikian yakin bahwa ‘dia’, ‘kalian’ dan
‘mereka’ yang edan? Sedangkan para ‘dia’, para ‘kamu’, para ‘kalian’ dan
‘mereka’ adalah ‘aku’ dan ‘kami’ juga bagi diri mereka sendiri?
Inilah hari-hari di mana kejahatan memproduk kebodohan. Di mana kebodohan,
yang bekerja sama dengan suatu jenis kepandaian tertentu, mendorong terciptanya
kejahatan. Di mana kebodohan berdialektika dengan kejahatan untuk memproses
lahir dan berkembangnya destruksi-destruksi sistemik dan structural atas bumi,
nilai-nilai dan manusia.
Inilah hari-hari sarat penyakit. Hari-hari penuh penyakit di dalam diri
manusia. Penyakit dalam kalbu, yang meruak pikiran, kita suburkan, bahkan kita
agung-agungkan, sehingga Tuhan membengkak menjadi gumpalan-gumpalan besar –
karena memang demikian sifat dan kesukaanNya.
Penyakit-penyakit dengan omset ekonomi politik yang tinggi, dengan mobolitas
total di hampir seluruh wilayah penjaringan kekuasaan, dengan
penekanan-penekanan konstan agar institusi-institusi informasi dan komunikasi
menjadi kepanjangan tangan dari kedholiman, serta kemudian dengan peraihan
sejumlah kambing-hitam yang periodik, juga dengan sejumlah sesaji zaman yang
bukan hanya dilabuh melainkan juga dicacah-cacah secara kolektif dalam atmosfir
hukum rimba kebudayaan.
Jalanan zaman yang sedang kita lewati sekarang ini adalah jalanan yang
sedang licin-licinya, namun berserakan batu-batu terjal di sana-sini. Di
tempat-tempat tertentu yang semula tidak licin, hari-hari ini ia ditaburi
cairan-cairan penggelincir. Jalanan ini menggelincirkan manusia ke berbagai
arah, di mana sebagian itu dirancang, direkayasa, dengan tingkat kecanggihan
strategis dan taktis yang gelap di mata para pakar namun seluruh dunia tak
meragukannya.
Jalanan ini licin tidak hanya bagi siapapun saja yang mendambakan dan
mempertahankan tegaknya akal sehat, bagi kejujuran, bagi murninya nurani dan
teguhnya prinsip-prinsip nilai: ia juga licin bagi para penguasanya. Para
pelaku ketidakjujuran tergelincir untuk sedemikian khusyuk meyakini bahwa yang
mereka lakukan adalah kejujuran. Orang-orang yang menghancurkan bangunan moral
di dalam diri mereka sendiri, tergelincir untuk percaya bahwa yang mereka
kerjakan adalah kemuliaan dan budi luhur. Orang-orang mengangkat penipu menjadi
pahlawan, orang-orang yang menguburkan para pecinta kebenartan di kubur busuk,
atau sekurangnya melemparinya dengan batu-batu kutukan, yang kemudian disusul
oleh ribuan penguntuk lainnya yang mengutuk tanpa kegelisahan untuk bertanya
apakah merteka benar-benar memahami apa yang mereka lakukan atau tidak.
Orang-orang mem-blow up kilatan emas semu dan mentakhayulkannya habis-habisan
dalam pesta hedonism sejati hanya karena ia terbungkus oleh kekumuhan dan
kebersahajaan.
Inilah hari-hari dimana kekuasaan mustahil untuk dilawan, juga oleh para
penyusun dan pelakunya sendiri. Inilah hari-hari di mana raksasa-raksasa
‘Cakil’ didoakan oleh berjuta orang agar bersegera menusuk perutnya sendiri dan
memuntahkan ususnya keluar. Inilah hari-hari di mana Suyudana bukan hanya
mengaku Yudhistira, melainkan yakin sepenuhnya bahwa ia memang Yudhistira.
Inilah hari-hari di mana para ‘Dursasana’ menatap wajah mereka sendiri di cermin
dan yang tampak adalah Bima. Inilah hari-hari di mana ‘Aswatama’ yang pengecut
mendandani dirinya dengan kostum Arya Setyaki dan membusungkan dadanya karena
percaya bahwa mereka sesungguhnya gagah perkasa. Inilah hari-hari di mana
‘Karna-Karna’ kecil menginterpretasikan tradisi penjilatan sebagai perwujudan
hutang budi dan keabsahan nasionalisme. Inilah hari-hari di mana ‘Semar’
direformasikan dan direfungsionalisasikan dalam peran-peran yang membuat roh
Semar sendiri terpingsan-pingsan karena kebinggungan.
Inilah hari-hari di mana manusia meletakkan dunia, capital, modal dan segala
sumber daya di tangan kanan, sementara Tuhan, para Nabi dan Agama digenggam di
tangan kiri. Tangan kanan itu mengendalikan dan menjadi pelaku
pergerakan-pergerakan utama dalam sejarah, menjadi pusat Negara dan pembangunan
— kemudian hanya pada saat-saat terpojok dan terancam saja genggaman tangan
kiri dibuka, untuk kemudian Tuhan didayagunakan simbiol-simbolNya untuk
menyelematkan diri.
Inilah hari-hari di mana manusia membangun kekuasaan dan kekayaan untuk
menindas orang lain, untuk kemudian menindas kemanusiaannya sendiri. Karena
kemanusiaan tidak hanya beremanyam pada rakyat, pada wong cilik, pada
bawahan-bawahan, melainkan juga bertempat tinggal di badan siapapun saja
meskipun ia menduduki singgasana-singgasana sejarah yang tinggi dan mewah.
Inilah hari-hari di mana konteks yang mempolarisasikan antara ‘yang
berkuasa’ dengan ‘yang dikuasai’ sesungguihnya bersifat multi-dimensi, sehingga
pandangan yang memiliki emphasis perhatian terhadap ‘pemerintah dan rakyat’
atau ‘militer dan sipil’ harus memperbaharui dirinya dan memperluas
cakrawalanya. Karena di dalam tatanan struktur sosial dengan sistem kekuasaan
politik yang sangat bersifat kulturistik: keterkuasaan atau ketertindasan tidak
terletak opposisional selama ini — sebagaimana yang menjadi isyu pokok setiap
pemikiran opposisional selama ini — hanya pada makhluk sejarah yang bernama
rakyat, wong cilik, petani atau kaum buruh; melainkan bisa juga berlaku pada
seorang prajurit, petugas kepolisian, karyawan sebuah kantor pemerintah, atau
bahkanpun seorang Mayor Jendral.
Jadi inilah hari-hari di mana manusia terbumerangi oleh bangunan dan
sistem-sistem kekuasaan yang ia ciptakan sendiri. Jikapun seseorang atau
sekelompok orang mendiami dan menggenggam pusat kekuasaan itu sama sekali tidak
menjamin bahwa ia atau mereka berkuasa atas sistem yang mereka rekayasa sendiri
tersebut. Inilah yang Allah sendiri selalu memperingatkan. Manusia menganiaya
dirinya sendiri.
Atau bahkan antara ‘yang berkuasa’ dengan ‘yang dikuasai’ bisa terdapat pada
sekaligus wilayah ‘kaum penindas’ maupun daerah ‘kaum tertindas’. Lebih dari
itu, peta keterkuasaan dan ketertindasan sudah tidak hanya beralamatkan pada
geopolitik atau geoekonomi, melainkan juga yang lebih intrinsic: geopsikologi.
Di dalam ruang kemanusiaan setiap orang terdapat potensi Negara, potensi
militer, potensi keberkuasaan; sekaligus potensi rakyat kecil, potensi sipil,
potensi ketertindasan. Sebaliknya di dalam kosmos Negara, kemanusiaan yang tertekan
tidak hanya kemanusiaannya wong cilik, tapi mungkin juga kemanusiaannya seorang
Jendral, seorang Bupati, dan lain sebagainya.
Inilah hari-hari kesunyian manusia dalam Negara. Manusia terasing di dalam
rumah sejarahnya sendiri. Manusia menciptakan penjara-penjara politik yang
pengap, penjara-penjara ekonomi yang menyesakkan dan mencambuki punggung, serta
penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya gemerlap namun membuat lubuk nuraninya
lenyap ke ruang-ruang hampa. Manusia menciptakan penjara-penjara sampai
akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara itu
menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya.
Sebagian manusia mengasingkan saudara-saudaranya sampai mereka sendiri
terasing dan kesepian, serta tidak kunjung bisa menjamin bahwa jika ia
melepaskan diri dari kesepian itu keadaan akan lebih baik bagi diri mereka.
Manusia terasing dari produk-produk peradabannya sendiri, karena di dalam
bangunan itu kemanusiaan tidak dinomersatukan, juga kemanusiaan yang terkandung
di dalam diri para penguasa itu sendiri. Roda politik menggerakkan kereta
sejarah ke cakrawala yang sesungguhnya tidak dikenal oleh gagasan dan filosofi
awal tatkjala ilmu politik dilahirkan. Roda ekonomi dan teknologi menggulirkan
zaman ke benua-benua peradaban yang di setiap ujungnya membuat rohani
manusia-manusia pelakunya mereka kecele.
Sementara kebudayaan hanya sanggup menyediakan panggung-panggung joget bagi
perasaan-perasaan picisan, bagi napsu-napsu permukaan yang tidak pernah
mempertanyakan dirinya, serta bagi upaya-upaya katarsis kecil-kecilan dan
temporal, atau kamuflase dan eskapisme yang penuh berisi omong kosong yang
dibangga-banggakan. Kebudayaan kontemporer memasang gedung-gedung,
panggung-panggung dan layar-layar pertunjukan serta arena ajojing yang watak
dan temanya satu belaka: yakni proses pendangkalan kemanusiaan.
Inilah hari-hari di mana titik nadir demokrasi telah dicapai dengan amat
sukses, sehingga budaya otoritarianisme semakin tidak bisa dikontrol, tidak
saja oleh lembaga-lembaga kebenaran dan moral, tapi juga bahkan tidak
terkontrol oleh diri para penguasa itu sendiri. Inilah hari-hari di mana
terdapat kerjasama sejarah yang otomatik antara mereka yang berkuasa dengan
mereka yang tidak berkuasa untuk – sampai batas tertentu – bersama-sama
mentradisikan kepatuhan terhadap system kedhaliman yang diciptakan oleh semua
pihak secara dialektis.
Inilah hari-hari di mana kita bisa dengan gambling menyaksikan terputus dan
terbuntunya tugas kebenaran dunia ilmu dan kaum intelektual dari realitas
kekuasaan Negara. Sehingga kenyataan-kenyataan runtuhnya akal sehat politik dan
kebudayaan bukan saja semakin tidak bisa diantisipasi, melainkan terkadang
malah dikukuhkan oleh lembaga-lembaga ilmu. Karena para pekerja kebenaran ilmu,
para pengembara pengetahuan, beserta institusinya, sudah terlalu lama tidak
berkeberatan untuk bertempat tinggal di propinsi sejarah yang tidak memiliki
otonomi nilai dan independensi politik.
Inilah hari-hari di mana Agama semakin terasing dari para pelakunya. Di mana
agama tidak disikapi rendah hati oleh para pelakunya, melainkan dijadikan alat
untuk tidak dewasa dan pemarah. Di mana Agama tidak dijadikan samudera ilmu,
melainkan dijadikan jimat-jimat beku yang disimpan, dielus-elus, namun tidak
diperkenalkan kepada hakekat realitas dan tidak diterjemahkan ke dalam syariat
sosial sebagaimana Agama itu sendiri menuntunnya. Di mana Agama tidak dijadikan
sumur kearifan dan kolam kedamaian, melainkan dipandei menjadi pisau tajam
untuk mengiris-iris ulu hati dan harga diri sebagian hamba Allah.
Inilah hari-hari di mana Agama tidak digali akurasi moral dan power (akhlaq
dan sulthan)nya demi mengontrol dan membimbing perilaku kekuasaan, sehingga
nilai-nilai Agama justru banyak tersisakan sisi simboliknya belaka yang dipresentasikan
justru pada fungsi legalisasi dan legitimasinya terhadap perilaku kekuasaan
belaka.
Inilah hari-hari semakin tidak berdayanya kaum seniman dan pekerja
kebudayaan terhadap proses dekulturasi budaya kekuasaan, sehingga mereka
sendiri mengalami stress kekaburan diri, degradasi integritas sosial serta
hanya terpukau pada khayal-khayal subyektif. Inilah hari-hari ini di mana
kantong-kantong kreativitas dan kemerdekaan mencipta tidak memiliki geografi
konkret, dan hanya terdapat di kandungan hati dan mentalitas masing-masing
seniman dan pekerja kebudayaan.
Inilah hari-hari di mana dua sayap tugas kaum seniman dan pejalan kebudayaan
tiba pada titik mutu terendahnya. Pertama tugas kreativitas kesenian yang
semakin tidak mengenali seberapa luas cakrawalanya, seberapa tingkat eksplorasi
tematik dan fungsi sosial yang semestinya bisa dijangkau. Kedua tugas para
seniman sebagai warga suatu system Negara, untuk mengamankan propinsi
kreativitasnya serta wilayah kemerdekaan seluruh rakyat yang menjadi Ibu kebudayaannya
— melaui jaringan perjuangan hukum dan politik — dan bukan hanya melalui
himbauan serta tradisi mengemis kemerdekaan.
Inilah hari-hari semakin tidak jernihnya mata pandang lembaga-lembaga
informasi dan komunikasi. Para kuli tinta tidak sempat merenung dan harus
berlari cepat dalam keasyikan budaya oplag yang tidak cukup sempat mengontrol
diri dengan (karena semakin tipisnya) tradisi kejernian ilmiah, serta oleh
skala prioritas moral dalam politik keredaksiannya. Para jurnalis tidak punya
waktu, stamina mental dan kelapangan jiwa untuk selalu mempersegar kembali
standar-standar persepsinya terhadap realitas hidup, terhadap ukuran-ukuran
kualitas makhluk manusia, terhadap skala moral dan kebenaran nilai-nilai.
Inilah hari-hari di mana jaringan para pelaku budaya tanding, di mana
network kekuatan-kekuatan opposisional dalam sejarah, di mana segmen-segmen
gerakan demokratisasi tidak kunjung sanggup menyembuhkan penyakit atau
mengurangi kelemahan di dalam diri mereka sendiri. Di mana bukan saja tak kunjung
tercapai jaringan kerjasama yang kondusif dan komplementer simbiose
mutualistic) untuk memproses perbaikan-perbaikan sejarah, melainkan terkadang
malah melarihkan langkah-langkah yang counter-productive. Di mana skala
prioritas perjuangan tak kunjung disepakati, di mana psikologisme dan egoism
antar kelompok tak kunjung bisa disirnakan, serta di mana langkah-langkah
strategis dan taktis tak kunjung dititik-temukan. Di mana ‘pasukan’
demokratisasi masih banyak dipenuhi oleh ideological inter prejudice, oleh lack
of trust serta oleh terpuruknya jaringan itu pada masalah-masalah yang
sesungguhnya tidak prinsipal.
Inilah hari-hari di mana Allah menganugerahimu kesunyian. Di mana Allah
mengujimu dengan hal-hal yang — karena belum tersentuh sungguh-sungguh oleh
tangan kejuanganmu — terasa sebagai duka dan kepiluan. Inilah hari-hari di mana
kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Di mana keedanan
memuncak untuk menawarkan kepadamu kewarasan. Di mana kebuntuan-kebuntuan
menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar