Kalau menjelaskan pada jemaah-jemaah kecil kaum muslimin yang awam tentang kufur
atau kafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih
atau kebersihan.
Misalnya begini: sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari, maka
ia tak bisa disebut sebagai kafir dalam arti total. Orang mandi, ightisal
alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan amanat atau perintah
Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa di luar itu otaknya, perilakunya,
perusahaan atau jabatannya, belum di-ghusl atau belum dibersihkan — di
situlah barangkali letak fungsi kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan
sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.
Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih memiliki
eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah memenuhi kehendak Tuhan
agar hamba-hamba-Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan menjaga
kesehatan.
Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tak ada orang yang seratus persen
dikategorikan sebagai orang kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak
bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji; biasanya masih
berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah, dan
sebagainya.
Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya masih
mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-baik dan santun kepada
orang banyak — bisa pada suatu sore kita tuding sebagai kafir, lantas kita
halalkan darahnya, atau minimal kita personanongrata-kan dan kita
kucilkan.
Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya bayangkan
terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang lebih duniawi dan
pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya — umpamanya
dunia politik.
Kalau mulut kekuasaan politik di suatu Negara menuding seseorang “Kamu tidak
bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku yang menguraikan
beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari pertanyaan dan kegelisahan yang
berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks
filosofis, etimologis, atau bahkan ideologis dan teologis.
Di dalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja pun term “kafir”,
“musyrik”, “munafik”, “muslim” atau “mukmin”, tetap terbatasnya maknanya oleh
konteks-konteks dalam ruang dan waktu, di mana suatu peristiwa dan perilaku
berlangsung. Kalau ada pedagang agama Isalam menipu pembeli beragama Budha,
tidak bisa kita katakana “orang muslim menipu orang kafir”. Perbuatan menipu
itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam
kasus penipuan itu si penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam
dunia ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.
Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial
masyarakat kita, kata “kafir”, “muslim”, “munafik”, “musyrik”, dan seterusnya
itu selama berabad-abad mengalami pengorbanan-pengorbanan yang sungguh-sungguh
tidak kecil dan tidak sepele. Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan, bahkan
pembalikan arti. Dan kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di
genggaman tangan seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak
terbatas — memiliki ribuan senapan dan prajurit — maka peristiwa-peristiwa
besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang sebenarnya amat
sepele.
Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang
dipelesetkan maknanya. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan
ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata “pembangunan” misalnya. Jutaan
lainnya bisa kehilangan tanah, kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan
kios jualan, kehlangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan
meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin — hanya oleh
pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti sebuah kata.
Jika pemelesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita
hanya bersedih dan menangis. Tetapi kalau pemelesetan itu justru disadari —
bahkan didayagunakan untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang
akan hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, diam, menyerah, dan hancur.
Kedua, berang, marah, melawan, dan mati.
Jadi, secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar.
Pertama, siapakah atau pihak manakah di dalam sejarah, yang disepakati sebagai
berwenang untuk menentukan makna sebuah kata? Kedua, dalam sebuah sistem
politik yang berlaku, adalah institusi hukum atau lembaga kebudayaan yang
memiliki otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan yang
seringkali memaknakan kata “bersih”, “PKI”, “balela”, “subversif”, dan
seterusnya seenaknya sendiri dari sudut kepentingan kelompoknya — yang apalagi
dibungkus di dalam jargon kepentingan umum? Ketiga, berapa dekade sejarah
diperlukan untuk menyembuhkan situasi di mana — setidaknya sebagian — kekuasaan
yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantab dan kusyuk merasa
bahwa yang dilakukannya itulah paling benar?
Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru dianggap
sebagai “cacat politik” atau bahkan “kafir politis”?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar