Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah
mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di
perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan — baik
dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang
sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka —
maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan.
Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si
empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar
bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau
ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah
tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati
secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari
layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib
penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur — dan inilah
puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak
mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja
keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak
pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku mendatanginya hanya ketika aku
sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku
bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran
lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur
itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam
hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah
dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku
heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur
dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur
itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat
mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah
tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam
kebudayaan. Ia alamiah.
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah
kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah itu merupakan sesuatu yang engkau
biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam
rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas
kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah SWT?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada
suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar
internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri
pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tersebut.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati
lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang
terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku
akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara
dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. “Ya Allah
Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok
bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang
mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak
disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini.
Ketika para arsitek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan
tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak
semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang
dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak
karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Allah, apakah Engkau merasa
kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya
di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di
bagian manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau
begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka
yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini
tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu.
Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung
ini, adalah semata-mata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan
kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu….”
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari
telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: “Malam
ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih
tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan
untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi”.
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga
bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari
peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya
hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan
religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci
meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab Al-Quran
serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri
beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan
yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus
berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar
dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang
engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement,
bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita
terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu
dimarginalisir — kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah
dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum’at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang
namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga
mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum’atannya adalah di pojok
tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar,
dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke
kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: “Kalau memang yang
dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak
biaya untuk juga membeli Qur’an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat
dan Injil”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar