Negara Indonesia disangga oleh lima pilar, bangsa Indonesia memiliki “alam
takdir”, watak khas kemanusiaan dan kekayaan budaya yang merupakan bahan sangat
menggiurkan untuk membangun peradaban penerang dunia di masa depan. Arab Spring
yang kini sedang dilangsungkan oleh “sekutu penguasa bumi” meletakkan Indonesia
sebagai sampel atau rujukan utama untuk “membangun demokrasi di Negeri
mayoritas Muslim”. Di antara enam nominator, Indonesia yang utama, sementara
Iran Turki urutan terbawah.
Sebenarnya terserah masing-masing untuk mengambil sisi yang mana dalam
menilai bangsa Indonesia. Boleh pilih hipotesis bahwa bangsa ini sengaja
dikubur kenyataan sejarah masa silamnya, sehingga penduduk bumi hanya mengenal
Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, atau Inka Maya. Statemen Santos Brazil
bahwa Negeri Atlantis tak lain adalah nenek moyang Nusantara tidak boleh
dilegalisir secara ilmiah.
Yang punya duit dan yang mengolah duit di abad ini adalah keturunan dua
kakak beradik, yakni Ismail dan Ishaq, putra Mbah Ibrahim. Sementara di bawah
tanah sedang mulai diyakini bahwa Ibrahim adalah anak turun Bangsa Nusantara
yang lahir oleh salah seorang putra Nuh. Salah satu pendekatan ilmu menduga Adam
adalah produk hibrida makhluk abu-abu, sementara manusia Nusantara adalah
hibrida yang lebih “gawat”; blasteran antara ekstrem densitas positif dengan
ekstrem densitas negatif.
Maka manusia Nusantara memiliki kenekadan hidup melebihi manusia bangsa
manapun di muka bumi. Kata “nekad” tidak ada padanan bahasanya. berani
merundingkan rencana korupsi ketika air wudlu belum kering. “Tolong yang
10% dikasih para Kiai, yang 10% dihibahkan ke Pesantren, jelasnya nanti kita
tahlilan di Hotel X tanggal sekian jam sekian….”. Yang dimaksud para Kiai
adalah anggota DPR tertentu yang terkait dengan proyek yang sedang akan
disunat. Pesantren adalah pejabat Kementerian yang merupakan jalur proyek itu.
Tahlilan maksudnya adalah meeting untuk pembagian apel Malang, apel Washington
dst yang kemudian diubah idiomnya dengan kata-kata dari tradisi budaya Islam.
Bangsa nekad berani kawin tanpa punya kerjaan. Berani kredit motor ketika
hutang yang dari kemarin masih bertumpuk. Berani naik menara tinggi pakai
sandal jepit sambil merokok tanpa tali pengaman. Berani naik atap kereta api
ratusan orang sekaligus tanpa berpegangan apa-apa. Kalau sudah tertangkap
korupsi langsung pakai peci atau kerudung dan jilbab, begitu duduk di kursi
pengadilan sudah nenteng tasbih di jari-jemarinya. Bangsa yang tidak
kunjung hancur oleh krisis-krisis perekonomian, tetap menang kontes tertawa dan
tersenyum sedunia, industri kuliner melonjak ekstrem, kampung-kampung dan
jalanan tetap memancarkan kehangatan hidup.
Ada ratusan lainnya contoh ketangguhan manusia Nusantara. Ketangguhan,
keanehan dan kegilaan. Tidak sekedar memiliki kesanggupan untuk mengalihkan
area hujan cukup dengan sapi lidi dan cabe merah, atau memakelari peluang cium
Hajar Aswad di tengah jejalan ratusan ribu orang berthawaf mengelilingi Ka’bah.
Akan tetapi sisi itu boleh dianggap isapan jempol dan khayalan untuk
menghibur-hibur diri dari kebrengsekan kehidupan bernegara yang tak kunjung
usai. Setiap orang berhak ambil sisi lain: Bangsa Nusantara adalah Garuda yang
sangat jinak dan berkekuatan Emprit: bisa dijajah ratusan tahun oleh beberapa
peleton Satpam sebuah perusahaan Negeri Belanda.
Ada yang berpikir kontekstual: ayam tak mungkin melakukan pekerjaan burung,
tapi burung juga jangan melakukan kebangkitan ayam. Kalau bangsa Indonesia adalah
Garuda, kebangkitannya harus bervisi Garuda. Kalau bangsa Indonesia tidak tahu
siapa dirinya, bagaimana mendisain kebangkitannya.
Tetapi ada juga yang berpikir universal dan esensial: terserah siapa kita
dan siapa nenek moyang kita, pokoknya hari ini kamu punya potensi apa,
kembangkan secara maksimal dengan kerja keras dan ketekunan.
Kita kembali close-up menatap diri. Bangunan NKRI disangga oleh lima pilar.
Pilar pertama, yakni yang utama, sangat besar, tinggi dan berada di tengah
bangunan, adalah rakyat.
Empat pilar lainnya, yakni kedua: Kaum Intelektual. Untuk konteks Negara
modern disebut Kelas Menengah. Wilayah perannya: Legislatif, Eksekutif,
Yudikatif, dan Pers.
Pilar ketiga, Tentara Rakyat. Sekarang TNI dan Polri. Pilar keempat,
Kraton-kraton dan kekuatan kebudayaan. Pilar kelima, intitusi Agama-agama dan
bangunan spiritualisme.
Pada era awal kemerdekaan hingga menjelang akhir 1950an, terdapat
keseimbangan yang lumayan di antara lima pilar itu. Kemudian mengerucut ke “Aku
Sukarno”, lantas pada 1965 dijebol oleh strategi “anak petani” Suharto yang
mempersiapkan kekuasaan sejauh tujuh tahun lebih sebelumnya. Untuk kemudian
mendayagunakan Pilar Ketiga, dengan membonekakan Pilar Kedua dan mengebiri
Pilar-pilar lainnya.
Suharto dengan Pelita 5×5 tahun, pupus di tengah jalan, sesudah ia menggeser
landasan kekuatannya dari “merah putih” ke hijau, dari ABRI merah putih Ali
Murtopo Beny Murdani ke ABRI hijau Hartono, dari Merah Putih Golkar ke embrio
politik hijau melalui persemaian ICMI. Kekuasaan global yang menguasai bumi
punya “pasal”: Indonesia silahkan maju dan jaya perekonomiannya, bahkan boleh
berkibar Tri-Sakti (politik, ekonomi dan kebudayaan)nya, asal jangan “pakai
peci”.
Karena pergeseran warna Suharto dari merah putih ke hijau, dari Suharto abangan
ke Haji Muhammad Suharto, dari “Islam Jawa” ke “Jawa Islam”, ditambah sejumlah
variable lain, maka Reformasi direkayasa untuk menjatuhkannya. Mahasiswa dan
Kelas Menengah intelektual dibusungkan dadanya di-casting jadi pahlawan yang
mampu menggulingkan Suharto, serta dibikin tidak ingat bahwa mereka tidak mampu
menggulingkan Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sambil disibukkan
dengan sensasi budaya tawur dan euforia peradaban busa-busa intertainment.
Suharto lengser, tenang-tenang menyiram kembang di Cendana dan merokok “klobot”,
tidak minta suaka ke luar negeri, tidak di demo di RT-RWnya, senyum-senyum
melihat Reformasi, perih hatinya melihat anak-anaknya, menyesali Ilmu
Pranatamangsa dan Ilmu Katuranggan yang sanggup ia terapkan dalam
menguasai Indonesia selama 32 tahun, namun tidak sedikitpun ia mampu
mengaplikasikan di keluarga kecil Cendananya.
Suharto benar-benar “ora petheken” selama tidak menjadi Presiden di
sisa hidupnya. 16 bom di 8 pom bensin dan 8 titik jalan tol seputar Jakarta
Kota dia acuhkan, padahal siap mengamankan Istana dan kekuasaannya kalau ia
kasih kode dalam pertemuan 19 Mei 1998 di Istana Negara. Bahkan Suharto membuka
dada dan tangannya dengan “4 Sumpah”: “Pertama, saya, Suharto, mantan Presiden
RI, bersumpah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia bahwa saya tidak
akan melakukan apapun untuk menjadi Presiden lagi. Kedua, untuk turut campur
dalam pemilihan Presiden. Ketiga, siap diadili oleh Pengadilan Negara untuk
mempertanggungjawabkan kesalahan-kesalahan saya selama menjadi Presiden.
Keempat, siap mengembalikan harta rakyat berdasarkan putusan Pengadilan
Negara….”
Ia tahu tak akan pernah diadili. Hanya dikutuk, dibenci dan dirasani. Sebab
kebanyakan orang Indonesia ingin menjadi dia, calon-calon penguasa bukan
anti-Suharto, melainkan ingin menggantikan dan memperoleh laba, keenakan dan
kenikmatan yang ia peroleh 32 tahun. Maka ia tidak lari ke mana-mana, jangankan
ke luar negeri, pindah RT-pun tidak. Ia tenang sembahyang, secara resmi
mengangkat seorang Imam untuk memandunya berwirid husnul khatimah.
Akhirnya ia dipanggil Tuhan, meninggalkan rakyat Indonesia yang makin
kebingungan menentukan Sukarno itu baik atau buruk, Suharto itu benar atau
salah, sebenarnya mana rujukan masa depan kita: Orde Lama, Orde Baru ataukah
Reformasi. Bahkan para penganut substansialisme hampir pecah kepalanya tak bisa
menjawab SBY ini beneran Presiden atau Presiden-presidenan terbuat dari
plastik. Sambil bersedih hatinya: dulu kita muak pada Bung Karno, tapi tetap
bangga kepadanya. Dulu kita benci Suharto, tapi tidak sampai berani melecehkan
bahkan menghinanya, sebagaimana sekarang orang melakukan pelecehan dan
penghinaan itu di berbagai media bebas maupun di jalanan-jalanan.
Apalagi kalau melihat lebih spesifik dan detail — misalnya — atas
pertimbangan keguru-bangsaan apa Bung Karno membubarkan HMI dan begitu dekat
dengan PKI. Atas pertimbangan masa depan yang bagaimana Pak Harto menyimpan
sejumlah rahasia 1998, termasuk sampai wafatnya tidak mengizinkan buku “Lalu
lintas Keuangan Cendana” diterbitkan. Sebagaimana HB-IX juga sampai wafat
beliau menolak membuka rahasia tentang fakta Perjuangan 1 Maret 1949, tentang
peran Suharto yang sebenarnya.
Kita bangsa Indonesia tidak mau disiksa terus menerus oleh kebingungan,
sehingga yang penting sekarang di tempat masing-masing kita sibuk “cari
untung”. Kita manusia Indonesia memfokuskan diri pada tema-tema kecil, sekunder
dan parsial. Karena yang besar-besar hampir mustahil diidentifikasi dan
dielaborasi, serta tak mencukupi bahan-bahan sejarahnya. Juga tidak akan
populer.
Akan tetapi kita jangan mati dengan melepas anak-anak kita buta tak tahu
belakang dan tak mengerti depan. Sebenarnya saya gembira dan optimis hampir
tiap malam di berbagai wilayah saya berjumpa dengan ribuan anak-anak muda yang
berjuang menyembuhkan kebutaan hidupnya. Penduduk Indonesia sekarang rata-rata
usianya adalah 27,5 tahun. Dan yang saya jumpai sejauh saya berkeliling ke
pelosok-pelosok sejak hari kedua Suharto jatuh, adalah para pemuda usia
tersebut dengan sorot mata yang aneh.
Aneh karena muatan orisinalitasnya. Mereka tidak hancur oleh
ketidak-menentuan keadaan Negaranya. Mereka tidak semena-mena bisa dicuci otak
dan mentalnya oleh industri disinformasi dan peradaban hiburan kekonyolan.
Anak-anak muda Nusantara sedang mempersiapkan kebangkitannya. Ada gerakan 1
juta petani muda, ada eksperimentasi-eksperimentasi keIndonesiaan di segala
bidang. Pelan-pelan tapi pasti akan lahir kaum muda visioner dan expert,
dengan atau tanpa profesionalisme kependidikan. Nutrisinya meningkat, daya
akuntansinya makin tajam, ‘militerisme atas diri sendiri’ atau kedisiplinan dan
kesungguhannya lahir serius, di dunia maya mereka juga sangat mengincar
supremasi. Bahkan sejarah hari esok Indonesia tidak bisa mengelak dari pemikiran-pemikiran
baru kaum muda untuk mentransformasikan ketatanegaraan NKRI dan men-saleh-kan
konstitusi dan hukumnya.
“Saleh” adalah kebaikan yang dihitung dan disimulasikan sedemikian rupa
sampai manfaatnya maksimal dan mudaratnya minimal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar