“Persemakmuran Nusantara” bukan kata atau bahasa konstitusi. Juga bukan
draft formula kenegaraan. Ia lebih merupakan istilah romantik kebudayaan.
Kepala mau pecah mikirin Indonesia, bolehlah iseng memimpikan kebersamaan namun
dengan membuka kemungkinan tafsir baru, sepanjang bersetia kepada moral
kebangsaan dan kesatuan hati seluruh manusia Indonesia.
Persemakmuran Nusantara bukan Persemakmuran Indonesia. NKRI kabarnya sudah
“harga mati”. Sudah “padat”. Sedangkan Persemakmuran Nusantara itu “cair”. Ia
ruh, gairah, semangat, impian, cita-cita. Bukan pula berassosiasi ke Negara
Federasi atau “commonwealth”. Ibarat menggembalakan kambing, patok kayu
penyimpul tali yang mengikat leher kambing-kambingnya adalah NKRI. Tetapi tali
antara patok itu dengan leher kambing adalah kemerdekaan berpikir, romantisme
cita-cita, dinamika cinta bagi kita kambing-kambing untuk sejauh mungkin
mencari rumput-rumput masa depannya. Kita ulur tali itu sepanjang-panjangnya,
tetapi patok NKRI menjaga batas seberapa panjang tali itu.
Kemerdekaan manusia, masyarakat dan bangsa, adalah kemerdekaan untuk
menemukan batas. Ketepatan batas itu berpedoman pada titik akurat dari
kesejahteraannya, kesehatan dan keselamatannya. “Terlalu membatasi” atau “tidak
terbatas” sama-sama mengandung ranjau atas kesejahteraan, kesehatan dan
keselamatan. Kemerdekaan adalah punya pilihan baju sebanyak-banyaknya tetapi
membeli hanya beberapa helai. Berdirinya NKRI menapaki “kemerdekaan” nya dengan
mempersyaratkan perdamaian abadi, menuju keadilan sosial. Punya pakaian
sebanyak-banyaknya atau tidak punya pakaian sama sekali: sama-sama tidak adil.
Terlalu kenyang itu tidak adil, sebagaimana tidak makan juga tidak adil.
Apakah para pendahulu kita di zaman silam pernah bikin Persemakmuran
Nusantara? Dulu saya menyangka Kesultanan Demak yang merintis itu. Tapi
kemudian saya memperoleh wacana bahwa Persemakmuran Nusantara sudah
diselenggarakan oleh Gadjah Mada, Perdana Menteri Majapahit, yang disempurnakan
justru dengan Sumpah Palapa.
Sumpah Palapa 1336 yang diucapkan oleh putra Lamongan itu bukan ikrar
penjajahan, tekad kolonisasi dan imperialisasi. Negeri-negeri yang dimobilisasi
tidak dirampok alam dan hartanya, tidak dijadikan “Provinsi” atau bawahannya.
Secara berkala para pimpinan wilayah berkumpul di Trowulan untuk minum air
kendi emas bersama, dalam posisi melingkar dan sejajar.
Tentu hal itu harus diuji dengan penelitian yang mendalam untuk lebih
memastikan apakah kepemimpinan Majapahit ketika itu memenuhi “kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Apakah ia menerapkan otoritarianisme-diktatorisme
ataukah semacam demokrasi. Apakah selama Majapahit memerintah, rakyatnya berada
dalam keadaan “adil dan makmur”. Atau, Sumpah Palapa itu sendiri sesungguhnya
lahir dari semangat Persatuan dan Kesatuan, ataukah penguasaan yang
kolonialistik dan imperialistik.
Jendela sejarah perlu dibuka lebih lebar. Apakah bangsa kita pernah
mengalami, misalnya, “simulasi” transformasi dari sistem kekuasaan “tumpengan”
menjadi “ambengan”. Tumpeng itu nasi dibentuk bulatan kerucut,
monolitik. Ambeng itu nasi ditaburkan secara merata di “tampah”,
sehingga mendekati apa yang dimaksud Persemakmuran Nusantara. Atau pertanyaan
mendasarnya begini: NKRI sekarang ini tumpeng ataukah ambeng?
Demokrasi itu cenderung tumpeng ataukah ambeng.
Yang pasti tradisi masyarakat dan Pemerintah kita sampai hari ini adalah
tumpengan, dalam berbagai jenis hajatan. Sisa kesetiaan ambeng justru bisa
dijumpai di Tondano, terutama di kalangan masyarakat Jaton,
Jawa-Tondano, anak turun deputinya Pangeran Diponegoro, yakni Sentot Alibasyah
dan Kiai Mojo.
Sebelum mendengar wacana tentang Air Kendi Emas Majapahit, saya menyangka ambengan
Persemakmuran Nusantara adalah gagasan Sunan Kalijaga. Saya berpikir begini:
“Negara” Kesatuan Majapahit ditransformasikan menjadi “Negara” Persemakmuran
Demak. Atas perundingan antara Sunan Kalijaga dibantu Sunan Kudus, dengan Prabu
BrawijayaV — Raja Majapahit terakhir — disepakati mengangkat Raden Patah
menjadi Sultan Persemakmuran Demak. Puluhan putra-putri Brawijaya yang lain
membantu sistem persemakmuran ini dengan mendirikan Perdikan-Perdikan dari NTT,
NTB, sepanjang Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra dll.
Putra ke-17 Brawijaya raja terakhir Majapahit memegang pucuk pimpinan
pemerintahan Demak terusannya Majapahit. Cucu beliau (Raden Timbal, Adipati
Terung) dari anak pertama (Aryo Damar, Joko Dilah), menjadi “Pangab” Demak,
sesudah menjadi “Pangab” Majapahit. Putra-putra Brawijaya yang lain (semuanya
117 putra-putri) “ambengan” memimpin Tanah-Tanah Perdikan: Haryo
Jaran Panoleh Adipati Sumenep, Ki Ageng Pengging, Jaka Peteng di Madura tengah,
Raden Jaka Maya di Bali, Haryo Sumanggang di Gagelang, Haryo Tanuraba di
Makasar, Haryo Kuwik di Kalimantan, Jaka Suralegawa di Blambangan, Retno
Bintara di Nusabarong, Retno Kedaton di Pengging, Ayu Adipati di Jipang,
Retno Marlangen di Lowanu, Retno Setaman di Gawang, Haryo Bangah di Kedu,
Joko Piturun alias Batara Katong di Ponorogo, Raden Gugur di wilayah Gunung
Lawu, Retno Keniten di Madura barat, Jaka Dandun di Parangtritis, Joko Dubruk
di Purworejo, Joko Balud di Mangiran, Joko Maluda di Gunung Kidul, Raden Lacung
di Bagelen, Joko Semprung di Brosot, Joko Lambare di Ngawen, Joko Balado
di Pedan, Joko Jenggring di Banjarnegara, Joko Krendha di Gombong, Joko Delog
di Klaten, dst.
Perdikan-Perdikan itu tidak berposisi bawahan yang “wajib lapor” atau kasih
upeti ke pusat. Sebagai contoh Ki Ageng Mangir di Yogya selatan sampai
menantunya yakni Ki Ageng Mangir Wonoboyo I, bahkan sampai cucu beliau Ki Ageng
Mangir Wonoboyo III, sejak mendirikan Tanah Perdikan Mangir di akhir Majapahit,
tidak pernah berhubungan secara resmi dengan Kesultanan Demak maupun Pajang.
Sampai kemudian terjadi peristiwa sejarah mengerikan di awal Kerajaan Mataram:
Ki Ageng Mangir Wanabaya III alias Ki Ageng Mangir IV yang terlanjur menikahi
Retno Pembayun, berkunjung ke mertuanya, yakni Panembahan Senopati Raja Mataram
— kemudian terjadilah tragedi yang semua orang Yogya dan tlatah Mataram tahu
namun saya tidak tega menuliskannya di sini.
Terbunuhnya Wonoboyo III pada logika saya kemarin adalah karena semangat
Mataram adalah meneruskan “kesatuan” Majapahit dan menolak “Persemakmuran
Nusantara” Demak. Ketika gunung Merapi meletus tahun 2010, menjelang puncak
erupsinya tersebar mitos di kalangan rakyat Yogya yang ketakutan. Bahwa “Gunung
Merapi akan memuncaki letusannya, mengirim lahar sejauh 30 km sehingga akan
menghancurkan Kraton Yogya. Banyak orang percaya bahwa 500 tahun sesudah
kehancuran Majapahit sudah tiba, maka Sabdo Palon Noyo Genggong balas
dendam karena tidak rela atas sirna ilang kertaning bhumi, yakni
hancurnya Majapahit”.
Sabdo Palon dan Noyo Genggong adalah “faksi” anti Demak yang bersumpah akan
membalas dendam. Tetapi ada dua faktor yang bisa menegasikan balas dendam lewat
letusan Merapi itu. Pertama, 500 tahun sesudah sirnanya Majapahit adalah
sekitar 1978, jadi erupsi Merapi itu sudah lewat 32 tahun. Kedua, Sabdo
Palon Noyo Genggong tidak akan menjadikan Kraton Yogya sebagai sasaran balas
dendam, karena Kraton Hamengkubuwanan Yogya maupun Pakubuwanan Solo adalah metamorphosis
dari kerajaan Mataram, yang secara aspirasi dan ideologi merupakan penerus
Majapahit.
Perhatikan, Majapahit menggelari rajanya dengan “Prabu”. Demak dan Pajang
dengan “Sultan”. Sultan dari kata “Sulthon” (kekuatan khusus dari
Allah). Kalau ini kita identifikasi sebagai perbedaan antara aspirasi kesatuan
dengan persemakmuran, “tumpeng” dan “ambeng”, maka raja Mataram
tidak memakai keduanya. Danang Sutawijaya menggelari dirinya “Panembahan”.
Dalam khasanah budaya dan filosofi Jawa, Panembahan adalah orang yang sudah
menyingkir dari kekuasaan politik menuju pendalaman spiritual dan kematangan kebudayaan.
Jadi gelar Panembahan Senopati itu tidak lazim. Bisa jadi karena beliau sendiri
sudah memeluk Islam sebagai murid Sunan Kalijaga (bersama Bapaknya Ki Gede
Pemanahan), namun mempercayakan pertimbangan politiknya kepada Ki Juru Martani
atau Ki Mondoroko yang beraliran “Kejawen”.
Di sisi lain, kekuatan Mataram tidak sesolid Majapahit, sehingga gelar Prabu
juga tidak tepat. Tapi pakai “Sultan” juga tidak mau, karena visi missinya
berbeda. “Keprabon” (ke-Prabu-an) Majapahit melandasi kekuatannya pada penyatuan
Hindu-Budha, ke-Sultan-an Demak merujukkan nilainya pada Walisongo. Kedua
alternatif itu tak mungkin diambil oleh Panembahan Senopati. Mungkin karena itu
kemudian muncul “kreativitas“ baru, yakni mitologi “Nyai Roro Kidul”, yang
relatif masih belum benar-benar ditinggalkan sampai hari ini.
Saya berharap itu semua tidak benar, dan saya bergembira mendengar Gadjah
Mada pun sudah menggelar Persemakmuran Nusantara.
Memang mungkin tidak terlalu salah bahwa wajah sosiologi politik Indonesia
modern hari ini sebenarnya dimulai sejak Panembahan Senopati. Konstelasi sosial
keagamaan yang tercermin pada peta kekuatan politik Indonesia modern sudah
dimulai sejak berdirinya Mataram: kalau Anda salami sejak itu muncul PPP,
Golkar dan PDI — kalau seakan-akan ada banyak sekali parpol, pada substansinya
hanya variable-variabel dalam bingkai pemetaan yang sama.
Sultan Agung Hanyakrakusuma, cucu Panembahan Senopati mencoba men-Sultan-kan
kembali, tapi kemudian ambigu dan kabur pada anak dan cucunya. Pencarian bangsa
Indonesia menjadi makin tak kunjung ketemu ketika kemudian hadir VOC, yang
semakin memecah belah pemikiran dan aliran politik bangsa kita.
Tetapi sesungguhnya itu semua bisa tidak penting bagi kita sekarang. Mungkin
tak perlu mempertentangkan antara kesatuan dengan persemakmuran. Kita
universalkan saja: biarin ini Negara atau Kerajaan atau Kesultanan, EGP
presidennya siapa saja: yang penting seluruh rakyat Indonesia sama-sama makmur
secara berkeadilan. Pakai bahasa sastra saja: persemakmuran harus mempersatukan,
kesatuan harus mensemakmurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar