Memang benar, perbedaan (tafsir) ke(agama)an — yang lazim disebut mazhab
atau aliran — sesungguhnya sunatullah dan membawa berkah. Namun jika yang
terjadi adalah “imperialisme” kebenaran dan berujung kepada kebencian bahkan
kekerasan hingga kematian bagi kelompok lain, maka ini adalah musibah atau
tragedi kemanusiaan. Kita sering mendengar orang/kelompok yang dengan gagah
berani berkata sedang membela Islam, padahal yang terjadi adalah membela
kepentingannya. Sederhana saja, Islam sudah dijaga Allah SWT sehingga tidak
perlu dibela. Islam ya tetap Islam, meski manusia menyikapinya dengan berbagai
cara bahkan kebencian. Jangankan kini kita sudah jauh dari Rasulullah Muhammad
SAW, sedangkan ketika Rasulullah baru saja wafat dan tanah kuburnya masih
segar, perebutan dan perseteruan di antara para sahabat pun langsung menyala.
Sebagai orang awam saya hanya dapat berprasangka baik, bahwa Allah
menurunkan Al Qur’an dalam garis-garis besar, bahkan ada yang bersifat ghaib,
justru untuk menantang manusia agar mau berpikir, dan di ujungnya dinamika
hidup di dunia ini menjadi menarik. Dalam kaitan ini Allah berfirman “aku
ciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya makhluk”. Meski demikian, manusia
tidak boleh sombong, karena Allah juga “mengancam” bahwa makhluk yang paling
baik itu boleh jadi akan kembali dalam keadaan seburuk-buruknya makhluk (asfala
safilin). Siapakah mereka? Tentu orang yang terus berbuat kerusakan di muka
bumi dan menghamba kepada selain Allah SWT (kekuasaan, harta, jabatan, mahluk
halus, dst).
Imperialisme tafsir kebenaran dalam beragama muncul karena berbagai sebab,
bisa karena urusan politis, ekonomis, maupun teologis (baca tulisan Cak Nun
tentang Kafir Politis). Mereka yang merasa paling benar dan menyatakan yang di
luaran sana adalah salah, sesungguhnya belum membahayakan. Keadaan akan
berbahaya jika klaim kebenaran itu diwujudkan dalam suatu kebencian dan
keinginan untuk memusnahkan pihak yang dianggap tidak segaris dengannya.
Mereka secara resmi mempertembokkan diri dengan aliran atau golongan lain di
dalam masyarakat (Muslimin), dan hanya terpeleset menjadi padatan kelompok atau
organisasi aliran. Mereka yang berperan dalam padatan seperti ini jelas belum mampu
mempertahankan dirinya pada peran kwalitatif, peran substansial, peran
essensial, peran “glepung”, “serbuk” atau “pohon pionir”, demikian istilah Cak
Nun.
Sebaliknya maiyah berada pada setiap golongan, memperjuangkan kedekatan
antar golongan, mengupayakan titik temu dan harmoni secara dinamis di antara
aliran-aliran, bahkan bercita-cita merekatkan, mempersatukan, menyatukan,
men-satu-kan kembali semua yang berserak-serak. Sebab para pelaku Maiyah
menemukan prinsip bahwa “tauhid ilallah”, kemenyatuan atau kebersatuan atau
kesatuan manusia dengan Allah dipersyarati oleh minimalnya keberserakan dan
keterpecahan di antara manusia.
Sadar atau tidak, cara berpikir kaum yang mengklaim kebenaran tunggal ini,
sebenarnya mirip apa yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat yang mengaku
moderen dan terjebak dalam ego keakuan yang menjadi tukang punggung kapitalisme
dunia. Paham kapitalisme sadar atau tidak, mengagungkan kepemilikan pribadi dan
laba sebesar mungkin yang berujung kepada keserakahan dan memandang orang lain
sebagai obyek untuk “dieksploitasi”.
Dalam dataran epistemologis, kapitalisme dan modernmisme hanya didasarkan
atas fondasi rasionalisme Cartesian, yang menihilkan peran Tuhan dalam
kehidupan keseharian. Epistemologi rasionalisme ini sangat memuja “keakuan”
persis seperti mereka yang mengklaim bahwa tafsirnya lah yang paling benar.
Dalam epistemologi rasional Cartesian, subyek “aku” selalu ditempatkan pada
anak tangga yang paling atas. Persis seperti mereka yang berusaha membenci dan
memusnahkan kelompok lain (karena perbedaan agama dan atau tafsir). Mereka
yakin bahwa realitas itu bisa ditaklukkan melalui pendefinisian secara positif,
dan karenanya ada semacam “imperialisme” epistemologi. Ketika
rasionalisme-positivisme diagungkan sebagai satu-satunya cara pandang terhadap
realitas, maka yang muncul adalah mistifikasi kebenaran, dan di luar itu
diklaim salah.
Kembali kepada beberapa hal tentang postmodernisme yang telah saya singgung
dalam dua tulisan sebelum ini, maka nampak jelas bahwa keruntuhan modernisme
dengan segala variannya — yang telah mereduksi manusia ke bentuk
seburuk-buruknya makhluk — terjadi karena tanpa landasan spiritual dan Tuhan.
Adalah “aneh” orang yang bergelimang popularitas dan harta milyaran dollar,
terpuruk bunuh diri dan “hanya” menjadi budak narkoba atau ketergantungan obat
tidur. Orang Jawa bilang “dodol dawet rengeng-rengeng, numpak Mercy mbrebes
mili”. Ini adalah kondisi asfala safilin yang saya sebutkan di atas.
Dalam wacana postmodernisme, sifat universal ilmu pengetahuan dan ideologi
sosial, hendak didekonstruksi, dan mereka mengajukan relativisme dan
pluralisme. Masyarakat kini berkembang amat cepat, demassifikasi dan
heterogenitas tidak hanya melanda cara produksi, namun juga gaya hidup dan cara
berpikir. Karenanya dalam wacana kaum postmo, kini tak ada lagi kebenaran
tunggal, dan tidak ada lagi grand narrative yang sanggup menjelaskan
atau memberi arah kompleksitas kehidupan ini.
Lalu apa yang diandalkan para pemberi tafsir keagamaan kalau dasar tafsir
juga sama-sama dari ijtihad dan mengolahnya lewat rasionalitas (akal
budi)? Pertanyaannya, lalu apa alasan “rasionalitas”nya jika mereka yang
membenarkan tafsir kelompok/mazhab/alirannya, dan menyalahkan yang lain?
Apalagi kita belum pernah sama-sama mati dan bertanya kepada Allah secara
“langsung”.
Mengenai pluralisme dan relativisme yang konon diwacanakan para pemikir
Barat, kita yang terbiasa berdialog di Forum Maiyahan, pasti akan senyum-senyum
saja, karena Islam sudah jelas mengajarkannya. “Bagiku agamaku, bagimu agamamu”.
Demikian pula Rasulullah Muhammad SAW juga sudah mempelopori Piagam Madinah,
dimana semua umat (jangankan hanya berbeda aliran/mazhab) yang berbeda agama
pun tidak ada masalah untuk bekerjasama di dunia ini. Konkretnya Romo bisa saja
suatu saat pinjam sepeda Pak Kiai, dan Pak Kiai suatu saat pinjam jas Pak
Pendeta. Namun untuk urusan ibadah mahdoh, mereka melalui jalan masing-masing.
Bahkan yang lebih ekstrem — kalau dibolehkan oleh umatnya — kita yang muslim
dalam keadaan terpaksa bisa saja sholat di gereja. Mengapa? Sederhana saja,
bagi kaum muslim gereja hanya dianggap sebagai bangunan biasa yang dapat
digunakan untuk sholat. Nah kalau antar agama saja tidak ada masalah,
bagaimana dengan antar aliran?
Bagaimana mungkin saudara kita dari aliran Sunni tega membantai saudaranya
yang kebetulan beraliran Syiah atau sebaliknya? Atas dasar apa mereka mengklaim
yang paling benar dan mengkafirkan yang lain? Paham-paham dan cara berpikir ini
jelas cara berpikir “primitif” atau “antroposentris” yang kini dikritik kaum
postmo. Paham antroposentris hanya memandang bahwa manusia adalah pusat
segalanya, dan memandang alam dan lainnya sebagai hal yang dapat dijadikan
obyek untuk dimanipulasi. Kesadaran mereka baru sampai pada tahap ana insan
(aku manusia dengan ego pribadi), dan belum ke ana Abdullah (abdi
Allah) apalagi sebagai khalifah (makhluk yang diserahi untuk memanajemen alam
semesta, dan tidak hanya bumi saja).
Pernyataan kaum postmo yang terkenal adalah “akal budi atau rasionalisme
bukan cermin dimana kebenaran dapat memantulkan sepenuhnya”. Dalam wacana
ini jelas bahwa akal budi selalu bersifat menyeleksi dan mendistorsi, sehingga
apapun yang hanya berpangkal kepada rasionalisme, akan bersifat relatif.
Sesuatu yang relatif tentu tidak dapat dijadikan dasar klaim kebenaran. Jika
ada, ini namanya memberhalakan kebenaran atau akal. Padahal apapun yang
menghamba kepada selain Allah adalah syirik, dan dijamin tidak akan masuk
surga. Demikian pula mereka yang memberhalakan tafsir atau akal budinya.
Karenanya jelas bahwa mereka yang mau selamat harus “Islam”, yakni berserah
diri kepada Allah SWT, setelah didahului ibadah, taqwa dan tawakal. Karenanya,
Allah SWT membekali manusia (kalau mau) dengan ajaran yang “konkret” yakni Al
Qur’an, yang tidak hanya berisi khabar gembira atau janji keselamatan belaka,
namun juga dengan “resep-resep” untuk memanajemen dunia seisinya ini, bahkan
alam semesta.
Untuk ibadah mahdoh sudah jelas hukum dan rukunnya, apalagi yang mau
ditafsirkan ulang? Apakah kita nmau menafsirkan sholat subuh misalnya, agar
lebih dari dua rekaat (karena masih pagi agar badan fit misalnya)? Selanjutnya,
kalau urusan muamalah, mengapa ada tafsir kebenaran mutlak dan menyalahkan yang
lain? Akal budi yang dianugerahkan Allah kepada kita tentu ditujukan agar manusia
menjadi cerdas dan bijaksana dalam mengelola atau memanajemen alam semesta ini
dan bukan digunakan untuk alat “imperialisme” atas kebenaran dan atau akal
budi.
Yang jelas, tafsir-tafsir dan klaim kebenaran nampaknya tidak hanya
berdimensi tunggal, teologis belaka, namun juga tumpang tindih dengan
teknostruktur kapitalisme atau industri massal, yang wataknya juga
eksploitatif. Orang mungkin tidak tahu bahwa ide pengusiran kelompok tertentu
dari desa tertentu misalnya, bukan semata-mata alasan perbedaan tafsir atau
alasan teologis, namun boleh jadi karena masalah ekonomis. Misalnya setelah
terusir dari desa tersebut, kelompok ini dapat mengeksploitasi sumberdaya alam
(misalnya ada sumber minyak dst).
Jelas bahwa agama atau tafsir seringkali hanya menjadi alat untuk
mensejahterakan diri dan kelompoknya. Dengan kata lain, benar kata Rasulullah
bahwa perbedaan yang sejati (tanpa kepentingan duniawi) sebenarnya adalah
rahmad. Namun karena yang terjadai sekarang ini adalah kepentingan duniawi yang
mendominasi, maka yang ada adalah “imperialisme kebenaran”.
Mereka-mereka itulah yang dalam Al Qur’an termasuk orang yang mendustakan
agama (jika sebutan yatim piatu juga dapat ditafsirkan dalam segala dimensi
sosial ekonomi dan politik), meski mereka menjalankan sholat dan rukun Islam
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar