Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus
terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah,
bangsa Indonesia harus kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru
merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia
benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus
sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan
terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga
kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya
dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik
paling nadir”.
“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan,
pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan
selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia
adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul
ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.
“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia
harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali.
Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran,
kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup
nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.
“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap
pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya.
Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi
utama”.
Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang
patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip
nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”.
Adapun Negara, pemerintah, ssstem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih.
Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.
Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan
derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa
menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga IBlis, “hulu”
derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku
adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku.
Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah
kekasihku”.
Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis
itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak
pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi
kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?
Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang
memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi
pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?
Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan
pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari
kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.
Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom.
Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan
untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri
zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal
penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah
Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang
disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata
Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang
dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak
pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang
menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah
Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh,
tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah
berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis
diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan
kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di
Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang
tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat
dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia
sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan
manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan
ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”.
Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk
mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang
disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya
menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada
Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia
tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta
dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan
untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada
Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan
menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak
bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari
Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban,
manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh
Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu
sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk
menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada
orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu
tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari
mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah
memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan
bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata
Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku
dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun
yang menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk
memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan,
tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan
untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan
manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri,
bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di
cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin
canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu
berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan
diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain:
software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya
menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel
sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita,
bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di
atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin
dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat
seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat
kematian yang memungkinkan ia lahir kembali” adalah sisipan cita-cita
mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke
kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di
Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar,
yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani
perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi
wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk
artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari
plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan
syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana
atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang
ikhlas”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar