Nampaknya tidak ada tempat ibadah di muka bumi ini yang “ramainya” melebihi
Ka’bah. Meski bangunan ini “hanyalah” sebuah batu yang di “lepo” berbentuk
kubus, dan tingginya pun tidak lebih dari beberapa meter saja, namun Ka’bah
selalu dikitari manusia selama 24 jam, sepanjang masa tanpa berhenti sedetik
pun! Kawan saya percaya jika orang tawaf ini berhenti sedetik saja, maka dunia
akan kiamat!
Ketika saya datang ke tanah suci, saya juga menyaksikan ribuan orang tawaf
setiap saat. Saat itu saya “keder” untuk mengerjakan thawaf di siang hari
karena manusia berjubel, bahkan ada yang terlihat “ganas” karena mendesak dan
menyikut kanan kirinya agar mendapatkan jalan. Karenanya, saya mencoba untuk
datang pada malam hari sekitar jam satu sampai jam dua malam. Harapannya tentu
Ka’bah relatif sepi. Namun dugaan itu keliru, karena Ka’bah tetap rame dan tak
pernah sepi dikitari manusia yang sedang thawaf! Ayo tunjukkan tempat ibadah di
dunia ini yang tidak pernah sepi dari kegiatan ibadah! Nampaknya tidak ada yang
melebihi Ka’bah!
Ilaihi Roji’un
Thawaf itu adalah gerak “inti atom”, elektron mengelilingi proton yang dalam
ilmu teknik elektro atau fisika teknik akan menimbulkan energi dahsyat. Dari
sisi religius, tawaf itu adalah gerak inti ilaihi roji`un, kembali
kepada Allah SWT. Ilaihi roji’un adalah kata kunci ibadah, karena
Islam adalah ibadah yang fondasi utamanya adalah menghamba kepada Allah SWT.
Orang yang sudah menghamba kepada Allah SWT pasti akan selamat hidupnya dunia
akherat dengan tidak harus meninggalkan kehidupan duniawi.
Orang yang sudah ilaihi roji’un pasti akan tenteram hidupnya, yang
kata orang Jawa adalah sumeleh. Orang yang tenteram hidupnya akan
mudah berpikir jernih, tidak ngoyo dan tidak kemrungsung,
namun juga tidak anti-dunia. Ia mampu memenejemen dunia-akherat dengan takaran
yang pas, adil, dan indah.
Sayangnya, dalam melaksanakan thawaf banyak orang yang tidak tahu
“teknisnya”, apalagi filosofis-teologis ini. Di atas sudah saya katakan,
banyak mereka yang thawaf harus mengeluarkan tenaga yang besar, karena
harus menyikut dan mendesak orang lain di kiri kanannya. Bahkan orang yang mau
masuk dan keluar lingkaran thawaf, langsung memotong begitu saja sehingga
mengganggu “tarian” memutar ini.
Saya sering tergoda untuk marah jika pas thawaf dipotong orang.
Kalau orang asing saya tidak sadar mengumpat: “stupid, don’t crossing”,
kalau orang Indonesia juga saya teriaki: “Goblog, jangan memotong jalan”.
Mestinya orang thawaf kalau masuk atau keluar meniru gerak “obat nyamuk”. Kalau
masuk ya harus pelan-pelan sambil kakinya bergeser ke kiri. Jika ini
dilakukan, maka dalam satu putaran saja kita sudah mendekati Ka’bah. Demikian
pula pas putaran kelima, sambil geser kanan terus memutar, maka pada putaran
ketujuh atau terakhir, maka kita langsung akan keluar dari lingkaran thawaf
menuju air zam-zam. Hanya orang “bodoh” yang mengeluarkan banyak tenaga jika
sedang thawaf, karena kita “pasif” saja, badan ini akan didorong orang.
Hajar Aswad dan “Mengancam” Allah
Di sisi lain, saya juga kagum sekaligus prihatin, banyak orang berebut di
dekat Hajar Aswad dengan tujuan untuk mencium batu hitam ini. Mereka laksana
orang “kesetanan”, “ndadi”, lupa kiri kanan, yang penting dapat
menciumnya. Di satu sisi kita juga kagum atas kecintaan mereka untuk meniru
Rasulullah, namun di sisi lain juga prihatin, betapa bodohnya mereka karena
tidak ada rasa saling toleransi. Coba kalau mereka sabar dan berbagi dengan
tertib, maka satu persatu pasti akan dapat menciumnya dengan baik meski hanya
beberapa detik, persis seperti orang yang mengular untuk salaman halal
bihalal di Istana Merdeka.
Teman-teman saya dari Indonesia semuanya mengeluh karena kalah “bersaing”
dengan bangsa kulit hitam yang tinggi besar, atau bangsa Turkey, India,
Usbezkistan, dst. Alhasil tak ada satupun dari 400 orang rombongan saya yang
berhasil mencium batu hitam itu.
Saya tanya mereka bagaimana cara memasuki Ka’bah dan mendekat Hajar Aswad?
Jawabnya yang sama: pokoknya masuk saja dan langsung ke tengah! Atas jawaban
ini sayapun sadar bahwa ada yang keliru. Karenanya untuk membuktikan bahwa cara
mereka keliru, maka saya ber-“eksperimen”.
Malam hari sebelum ke Hajar Aswad, saya sudah sholat tahajud di Maktab untuk
“kulonuwun” kepada Allah SWT. Pagi hari setelah sholat subuh saya
ulangi permintaan itu, dan waktu dhuha, saya berangkat sendirian ke Masjidil
Haram, dengan tujuan hanya satu: mencium Hajar Aswad.
Begitu masuk Masjidil Haram, saya tidak mau gegabah. Sholat dulu dua rekaat
sebagai sholat dhuha dan sholat dua rekaat khusus untuk “mohon pertolongan”
Allah SWT agar dimudahkan dalam mencium batu hitam itu. Dalam sholat itu ada
empat doa yang saya panjatkan.
Pertama, karena saya membaca riwayat bahwa Rasulullah pernah
menciumnya, maka dalam doa itu saya mem-feta kompli Allah SWT. Ya
Allah, kalau benar Rasulullah pernah mencontohkan mencium Hajar Aswad, maka
cobalah tunjukkan kebenaran itu dengan jalan memberi ijin kepada saya untuk
menciumnya (he he he malaikat tertawa mendengar “ancaman” saya ini). Kedua,
saya berjanji tidak akan syirik. Batu hitam ini hanyalah batu dan bukan tempat
untuk meminta. Ketiga saya berjanji tidak akan menyakiti yang lain
untuk dapat menciumnya, dan keempat saya mohon pertolongan dan
dimudahkan serta tidak disakiti.
Setelah itu sesuai saran Cak Nun, saya harus membuka Quran “secara acak” dan
menemukan surat apa, langsung saya baca. Setelah selesai, saya langsung menuju
Ka’bah untuk memulai “misi khusus” ini. Saya tetap keder, karena jam 8
pagi Ka’bah juga lebih ramai karena matahari belum begitu tinggi, bahkan dari
kejauhan, orang saling mendorong berjubel di Hajar Aswad.
Namun karena saya sudah minta ijin, maka dengan tekad bulat saya langsung
bergabung dengan ribuan orang, masuk lingkaran tawaf. Dengan teknik “obat
nyamuk” saya langsung masuk dan ajaibnya, tanpa kesulitan dalam satu putaran
tawaf saya sudah berada di dekat Hajar Aswad.
Di sini sudah puluhan orang berebut dengan saling dorong dan menyikut.
Seorang perempuan India terjepit dan menjerit hampir pingsan, lalu ditarik
keluar oleh suaminya. Ada seorang dari Kirgistan dicekik orang Nigeria yang
tinggi besar, hingga akhirnya si Kirgistan ini menggigit lengan si
negro ini (persis Mike Tyson menggigit Hollyfield) dan si negro
berteriak langsung keluar dari lingkaran rebutan. Saya yang relatif kecil ini
hanya pasrah “ndepipis” ikut arus kesana kemari sambil pikiran tetap
tenang dan matur kepada Allah melihat orang kesetanan itu.
Setelah lima belas menit saya diombang-ambingkan orang yang berdesakkan. E-e
tiba-tiba tubuh saya serasa didorong dan benar, langsung mendarat di depan
Hajar Aswad. Saya langsung lupa diri tidak sempat mengucap ”bismillah hi
Allahu Akbar” langsung saja “mencocor” batu hitam ini yang ternyata penuh
keringat dan “umbel” banyak orang. Saya sudah berjanji tidak akan egois, dan
cukup dua detik saja.
Namun apa yang terjadi, saya tidak dapat bergerak ke luar dan tetap berada
di depan batu hitam ini beberapa lama. Saya juga tidak ditarik atau didorong
keluar, karena orang-orang di belakang saya ribut bertengkar. Akhirnya daripada
“bengong” saya ulangi lagi mencium Hajar Aswad ini bahkan berkali kali! Padahal
sebelumnya banyak orang yang baru akan masuk ke lingkaran frame batu
ini saja sudah ditarik oleh pengantre di belakangnya atau oleh askar Arab yang
bergelantungan di dinding Ka’bah seperti laba-laba itu.
Luar biasa, Allah SWT telah memenuhi janjiNya karena saya “ancam” tersebut (he
he he). Kembali ke maktab saya ceritakan pengalaman ini kepada isteri.
Diapun iri, dan akhirnya minta saya mengantarnya esok paginya dengan “resep” kulonuwun
ala saya tersebut. Benar esok harinya, saya antar isteri. Jam 7 pagi kami
berdua turun dari lantai 8 Maktab untuk berjalan ke Masjidil Haram.
Namun di tengah perjalanan saya merasa kehilangan dia. Saya kaget, dimana
isteri saya? Ternyata setelah saya cari, ia sedang sibuk membeli kalung mainan
di pinggir jalan. Seketika hati saya tergetar, tanda-tanda tidak baik. Setelah
saya “marahi” secukupnya kami berdua tetap ke Masjidil Haram. Sampai di sana,
persis seperti yang saya lakukan kemarin, kami berdua sholat untuk minta ijin kepada
Allah agar dimudahkan mencium Hajar Aswad. Doa dan “ancaman” sama seperti
kemarin namun saya tambahi kata-kata permohonan maaf atas kelakuan isteri (yang
mampir membeli kalung) tersebut.
Betul, begitu masuk, kami berdua memang berhasil ke arah kerumunan orang
yang berebut di dekat Hajar Aswad, namun berkali-kali berusaha, isteri saya
selalu terpental. Bahkan sudah dua kali ia berhasil memegang frame
putih batu hitam ini, yang berarti tinggal sepuluh senti dari Hajar Aswad untuk
menciumnya, namun selalu terpental! Akhirnya karena hampir pingsan dia, maka
kami sepakat keluar.
Ia nampak kecewa. Sebagai suami, maka saya hibur dia. ”Nggak apa-apa
lumayan sudah bisa pegang” Dia balik bertanya “Mengapa ya mas kok
susah menciumnya padahal penjenengan sangat mudah?”. Jawab saya enteng
saja: “Kamu tadi salah sih. Orang sudah berniat ke Ka’bah kok masih mampir
beli kalung. Wong mau ketemu kekasih kok serong kiri, padahal kekasih
itu sudah lama menunggumu”.
Mendengar jawaban saya ini, isteri pun tersenyum kecut. Kami akhirnya
berjanji, yang penting nanti di kehidupan keseharian, kita jangan
“menyelingkuhi” Allah dan Rasulullah. Kalau sudah madhep-mantheb
menggabung ke Allah dan Rasulullah, jangan “mampir-mampir”, berjalan
lurus saja! Sebuah pelajaran penting dari Masjidil Haram, khususnya Hajar
Aswad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar