Bertempat di area depan Masjid Darussalam Kecamatan Andong Boyolali, 16
Desember 2012, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di tengah-tengah masyarakat
Boyolali dalam acara Peresmian Gedung NU Center dan Pelantikan GP Ansor
Kecamatan Andong Boyolali. Peresmian dilakukan oleh Bupati Boyolali Seno
Samodra. Dalam sambutannya yang jauh dari cara bicara formalistik, kaku, dan
berjarak, Bupati Seno Samodra yang menyebut dirinya “abangan” ini menyampaikan
pesan-pesan yang sangat dialogis yang mencerminkan kedekatannya dengan
masyarakat Boyolali, khususnya warga NU Kecamatan Andong.
Selepas prosesi peresmian, dan qiroatul Quran, Cak Nun dan KiaiKanjeng
dipersilakan naik ke panggung. Pertama kali Cak Nun yang tadi menyimak sambutan
Pak Bupati, langsung segera merespons bukan saja apa yang Bupati kemukakan
melainkan juga gaya penyampaiannya. “Sambutan beliau, juga gayanya, itu
mencerminkan bahwa beliau dan masyarakat Boyolali sangat dekat,” kata Cak Nun.
etelah itu Cak Nun merespons hal pengakuan abangannya Pak Bupati. Menurut
Cak Nun istilah abangan itu berasal dari guneme (omongan) masyarakat
yang sudah ada sejak zaman Brawijaya V. Seorang antropolog Amerika Serikat
bernama Clifford Geertz kemudian meneliti kehidupan keagamaan di Jawa berikut
lapisan-lapisan sosial di balik masyarakat (dengan sampel masyarakat Pare Jawa
Timur) lantas menemukan tiga kategori yang sangat terkenal dalam ilmu sosial
yaitu santri, abangan, dan priyayi. Tetapi dalam pandangan Cak Nun, secara
substansial sesungguhnya Islam tidak mengenal istilah abangan. “Abangan itu
bukan terminologi Islam. Sebab Islam itu tidak mengajarkan orang untuk ngaran-ngarani
(menghakimi), atau nyondro-nyondro (menilai-nilai) orang lain,” tutur Cak Nun.
“Tetapi, kalau istilah abangan ini dipakai untuk menyebut diri sendiri boleh
jadi malah baik, sebab abangan ini kan term untuk menggambarkan orang
yang jauh dari tradisi keagamaan, jarang pengajian, nggak bisa membaca al-Quran
dan lain-lain yang selama ini menjadi penanda orang alim. Nah ketika menyebut
diri abangan itu sebenarnya satu bentuk kerendahan hati,” jelas Cak Nun.
Untuk mengantarkan jamaah memasuki nomor-nomor shalawat, sekaligus merespons
kegelisahan para penyelenggara acara terkait dengan derasnya arus puritanisme
keagamaan, Cak Nun menguraikan sejumlah hal penting. Cak Nun yang malam itu
mengenakan busana putih-putih dan peci Maiyah menjelaskan bahwa yang
paling ditakuti oleh Iblis adalah Nabi Muhammad Saw. Iblis bukan hanya takut
tetapi juga ta’dhim kepada Nabi Muhammad. “Rasulullah adalah orang besar. Tidak
ada nama orang yang disebut sebanyak nama Nabi Muhammad dari dulu hingga
sekarang di pelbagai belahan dunia.” Nabi Muhammad mendapatkan limpahan cinta
yang tak ada habisnya. Allah memerintahkan para Malaikat dan orang-orang
beriman untuk bershalawat kepadanya, dan Allah sendiri terlebih dahulu
bershalawat kepadanya. “Jadi, musuh-musuhnya Nabi Muhammad pekerjaannya adalah
melarang-larang shalawatan. Gerakan utama global bukanlah bertujuan memusuhi
Islam, atau menghancurkan Indonesia, tetapi memutus hubungan batin umat manusia
— bukan hanya umat Islam — kepada sosok agung Muhammad Saw. “Kalian mau diputus
cinta kalian kepada Rasulullah?” tanya Cak Nun kepada jamaah yang memenuhi
pelataran masjid serta jalan di kanan-kiri panggung, dan langsung dijawab
serempak, “Mboten puruuuun (tidak mau).”
Demikianlah Cak Nun menjelaskan substansi di balik gerakan-gerakan yang anti
tradisi keagamaan di mana bukan tradisi itu sendiri yang diserang tetapi
hubungan batin manusia dengan Rasulullah itulah yang tidak disukai oleh para
perancang dan penguasa desain global internasional. Tak lupa Cak Nun juga
mengajak para jamaah untuk belajar kembali memahami pengertian bid’ah, musyrik,
dan lain-lain secara proporsional dan ilmiah.
Sesudah memberikan paparan-landasan itu Cak Nun mengajak semua hadirin untuk
melantunkan shalawat Ya Rasulallah Salamun ‘alaik aransemen baru KiaiKanjeng.
Para jamaah mengikuti dengan khusyuk. Begitu pun pada nomor-nomor selanjutnya.
Kemeriahan dan kemesraan acara ini juga berlangsung ketika Pak Bupati mau
diajak naik ke panggung lagi oleh Cak Nun untuk membawakan satu-dua nomor lagu
diiringi dan didampingi Kiai Kanjeng.
Selain tentang cinta kepada Rasulullah, Cak Nun juga menguraikan pentingnya
mengerti bukan saja nasab ilmu melainkan juga nasab lagu atau karya-karya yang
baik yang telah berkembang di dalam masyarakat sehingga kita tahu kepada siapa
kita harus meng-alfatihahi. Kurang lebih menjelang pukul 24.00 acara telah
dipuncaki dengan indal-qiyam dilanjut dengan do’a yang dipimpin langsung oleh
Cak Nun untuk kerukunan, kesejahteraan, dan gemah ripah loh jinawinya Boyolali.
Acara malam ini juga dihadiri sejumlah tokoh masyarakat Boyolali di antaranya
Ketua PCNU Boyolali Drs. KH. Masruri, Rois Syuriah PCNU Boyolali KH. Abdul
Hamid, mantan Wabup Boyolali KH. Habib Masturi, Danpomdam V Diponegoro Kolonel
Sudirman, dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar