Sabtu, 02 Februari 2013

Jadilah Juara Atas Hidupmu Sendiri

“Lebih beruntung mana antara orang yang diberi ilmu atau orang yang mencari ilmu?”. Pertanyaan dari Cak Nun ketika membuka acara rutin bulanan Macapat Syafa’at di kompleks TKIT Al-Hamdulillah, Kasihan, Bantul, Jogjakarta pada 17 Desember 2012 yang lalu. Kemudian Cak Nun melanjutkan, “di Macapat Syafa’at ini, bagaimana  prosentase antara yang “diberi’ ilmu dan “mencari” ilmu? Anda harus menghitung itu agar nanti bisa mengerti bahwa spirit Maiyah dimanapun berada adalah mencari ilmu. Kalau tidak begitu, ya sudah…selesai”.


Mencari ilmu adalah sebuah kesadaran dan kemauan untuk secara aktif melakukan pencarian dan penelusuran seluas-luasnya atas sebuah fenomena, kejadian, peristiwa dan sebagainya sehingga menumbuhkan pengertian yang utuh dan integrated. Cak Nun kemudian mencontohkan, “kalau Anda melihat rokok, apa yang kemudian akan anda ingat? Asap…. Apalagi? Tembakau, petani, pabrik rokok, pajak, korupsi, kesejahteraan rakyat, fatwa MUI dan sebagainya. Nah, kalau anda mencermati segala hal, akhirnya anda akan “melihat” Allah.

Paralel dengan hal mencari ilmu, Cak Nun melihat banyaknya orang yang berfikir dangkal itu karena memang mereka tidak terlatih untuk berfikir. “Di Maiyah ini, kita bisa mendapat bahan-bahan dasar agar punya mekanisme berfikir yang baik. Malas berfikir merupakan tanda-tanda kemanusiaan semakin surut”, demikian Cak Nun menjelaskan. Cak Nun menegaskan kembali kepada jama’ah agar membiasakan diri serta terus menerus mentradisikan aktifitas mencari ilmu tersebut.

Tidak lama kemudian, Cak Nun langsung membuka sesi tanya jawab. Ada beberapa pertanyaan, harapan dan pernyataan yang mengemuka malam itu. Seorang jama’ah yang pertama kali memperoleh giliran menyampaikan harapannya agar Cak Nun “meluruskan kembali” reformasi yang menurutnya telah berbelok arah. Kemudian ada pula yang mempertanyaan tentang esensi dari perubahan. Sementara pertanyaan ketiga tentang bagaimana caranya agar Indonesia bisa berpijar.

Menanggapi ketiga pertanyaan diawal sesi ini, Cak Nun memberikan “rumus” terlebih dahulu bahwa landasan dalam aktifitas berfikir ialah harus komprehensif. “Dalam menghadapi segala sesuatu termasuk berfikir, anda harus mempertimbangkan betul mengenai environment of the context. Misalnya ada kayu besar yang akan digunakan untuk mendirikan rumah. Biasanya orang akan ramai ngomong bahwa kayu itu harus ditebang dan digergaji tapi siapa yang berfikir bagaimana gergajinya? Sudah punya belum? Siapa yang akan menggergaji? Dan seterusnya. Jadi, Anda harus konsekuen. Anda sudah mencukupi (sudah cukup punya pengetahuan dan bahan-bahan yang komprehensif) belum untuk berfikir tentang Indonesia?

Selanjutnya, menjawab salah seorang jama’ah yang bertanya “bagaiamana kita bisa mengetahui bahwa apa yang kita lakoni/pilih ini merupakan kehendak Tuhan?”, Cak Nun menggarisbawahi bahwa salah satunya caranya yaitu dengan terlebih dahulu membedakan tentang “alat” dan “tujuan”. “Dengan begitu, kita akan tahu mengenai kemuliaan”, ujar Cak Nun.

Untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah diajukan oleh beberapa jama’ah tadi, Cak Nun meminta Cak Fuad untuk melengkapinya. Cak Fuad memulai menanggapi soal “perubahan”. “Kalau ada orang bicara mengenai perubahan, itu kita harus perjelas dulu. Yang diubah apanya? Permukaannya atau apanya? Mendasar atau bagaimana? Dalam hubungannya dengan hal ini kita mengenal istilah wasilah dan ghoyyah. Misalnya kita mengobati suatu penyakit, kita harus mengobati sumbernya bukan gejalanya. Dalam konteksnya dengan Indonesia, menurut saya, yang terlebih harus berubah adalah pandangan hidupnya.

Masih menurut Cak Fuad, pandangan hidup yang selalu melihat akherat adalah muara akhir dari semua gerak sosial, politik, ekonomi serta semua hal/dinamika dalam sejarah kebudayaan manusia adalah pandangan hidup yang akan mampu membawa perubahan yang mendasar. Kalau anda menjadi dokter, ahli hukum, presiden dan sebagainya itu tidak salah asalkan kamu bisa menilai, apa yang kamu lakukan setelah menjadi “sesuatu” itu? Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa tahu secara persis apa kehendak Allah atas diri dan hidup kita, maka kita harus selalu ber “ihdinashirathal mustaqiim”. Cak Fuad menambahkan bahwa kesesuaian antara keinginan kita dengan kehendak Allah disebut Taufik dan Hidayah. Jadi, orang sukses adalah orang yang menemukan kesesuaian antara kehendak diri dengan kehendak Allah.

Menyambung penjelasan Cak Fuad, Cak Nun menyebutkan, “kalau dunia kamu jadikan tujuan, kamu tidak bisa menikmatinya. Maka kamu harus mengolah dunia untuk akherat sehingga kamu akan menemukan betapa indah dan nikmatnya dunia.

Cak Nun menegaskan kembali bahwa keindahan adalah puncak dari kebaikan dan kebenaran. Beliau lantas mencontohkan: “asal terpenuhi syarat dan rukunnya, sholat itu sah, tapi bagaimana kira-kira kalau Anda sholat tidak khusyuk?” demikian Cak Nun mengumpamakan. Menurut Cak Nun, kekusyukan itu keindahan sedangkan fiqih itu urusannya dengan kebenaran (bagaimana yang benar) dan kebaikan (bagaimana yang baik). Setelah memaparkan pentingnya cara berfikir yang komprehensif dan benar, Cak Nun meneruskan, “kalau Anda sudah mengerti glepung (secara denotatif berarti: beras atau jagung atau ketela pohon yang ditumbuk hingga menjadi sangat halus. Tapi Cak Nun dalam banyak kesempatan menggunakan istilah ini untuk menyatakan suatu keadaan yang sangat mendasar dan esensial dari suatu hal menyangkut asal muasal suatu keadaan), Anda akan bisa menterjemahkan apapun disekitar Anda. Dan disini yang coba saya lakukan adalah memberikan “ilmu iblis”, suatu ilmu pionir. Anda bisa meresap kemana-mana. Disini Anda dilatih mental, intelektual, emosional dan sebagainya agar Anda yakin tentang “Wa lal akhirotu khoirulaka minal ‘ulaa” (sesungguhnya kehidupan akherat itu jauh lebih baik daripada dunia).

Macapat Syafa’at bulan Desember 2012 kali ini memberi ruang yang lebih luas kepada para jama’ah untuk berdiskusi dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Sebelum menjawab sebuah pertanyaan dari seorang jama’ah mengenai posisi antara hukum vis a vis akhlak, Cak Nun menyampaikan bahwasanya kesabaran adalah ketika kita tahan menjalani proses apapun dalam menuju kebaikan yang kita yakini. “Itulah pentingnya ketidakpastian dan ketidaktahuan Anda atas sesuatu hal. Tapi manusia sekarang tidak sabar sehingga tidak percaya kepada masa depan. Dan yang dipercaya hanya apa yang ada didepannya/hadapannya”, Cak Nun menjelaskan. “Maka dalam menghadapi apapun disepanjang perjalanan hidup ini, manusia semestinya pandai-pandai menerapkan kesabaran. Kita seyogyanya memahami bahwa Tuhan hanya meminta kerja keras kita. Tuhan hanya meminta kita berusaha sungguh-sungguh untuk berubah, nanti biarkan Allah yang bekerja”, sambung Cak Nun.

Tentang posisi antara hukum dan akhlak, Cak Fuad melandaskan pendapatnya berdasarkan bunyi sebuah ayat yang berbunyi “dan balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, dan barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. Pada frase pertama, yaitu balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, ini hukum, lalu frase kedua, tetapi kalau kamu memaafkan dan berbuat baik (atas perbuatan kejahatan itu) ini akhlak.

Macapat Syafa’at bulan Desember kali ini juga di hadiri oleh Tjatur Sapto Edi, Ketua Fraksi Amanat Nasional dan anggota komisi III DPR RI. Anggota DPR yang juga anggota Banggar ini mengaku dahulu juga aktif dalam kegiatan Maiyahan dimasa-masa awal kegiatan di Kasihan. Pada kesempatan Macapat Syafa’at kali ini Pak Tjatur membenarkan apa yang disampaikan oleh Cak Nun diawal acara, bahwa memang benar tidak mungkin kegiatan Macapat Syafa’at ini tidak ada gunanya. Pak Tjatur menilai kegiaan-kegiatan Maiyahan seperti ini merupakan teknologi tinggi sebab mampu mengakselerasi perubahan dengan cara memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk membangun diri, menggali potensinya dan menemukan mekanisme-mekanisme terbaik untuk merumuskan apa yang baik bagi dirinya dan masyarakatnya. Selain itu, Pak Tjatur juga mengungkapkan beberapa hal meyangkut hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Amerika, terutama yang berkaitan dengan kontrak-kontrak kerjasama kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Pak Tjatur, memang sebenarnya ada banyak ketidakberesan dalam kerjasama-kerjasama itu, yang antara lain berupa pembagian hasil yang tidak seimbang, tingginya kebocoran-kebocoran (korupsi) maupun adanya sistem manajemen yang keliru dalam penyelenggaraan kerjasama tersebut.

Senada dengan Pak Tjatur, salah seorang jama’ah yakni Mas Nanang yang sebelum bekerja di Papua mengaku merupakan bagian dari kegiatan Maiyahan di masa awal, menyebutkan bahwa kegiatan-kegitan Maiyah dari dulu hingga kini tetap konsisten dengan pilihannya untuk tidak melembagakan diri menjadi “padatan”. Ini justru akan lebih baik sebab dengan konsistensinya menjadi gerakan kebudayaan dan forum ilmu, Maiyah justru mengambil peran penting ditengah dinamika masyarakat, disatu sisi sebagai ruang dialog kebudayaan dalam arti luas dan disisi lain menjadi Candradimuka untuk melahirkan generasi-generasi baru yang dewasa dan mandiri dalam bersikap dan berdialektika dengan setiap musim peradaban.

Pada bagian akhir, Cak Nun merespon beberapa hal yang disampaikan oleh Pak Tjatur dan beberapa jama’ah berkaitan dengan konstelasi politik nasional. Cak Nun mengungkapkan, “kita sejak awal diajari untuk (menyelenggarakan) penipuan demi penipuan. Presiden jadi presiden itu menipu dirinya sendiri. Kita sebagai rakyat menjadi sangat kuat karena tidak adanya peran pemerintah dalam urusan-urusan praktis kemanusiaan kita. Jadi, marilah pilih pemimpin yang seburuk-buruknya agar kita makin terlatih untuk menjadi manusia yang lebih kuat lagi”, ujar Cak Nun yang diselingi kelakar.

Melanjutkan uraiannya, Cak Nun berpesan agar kita selalu berusaha melakukan konektifitas kehendak kita dengan kehendak Tuhan agar berbagai hal yang terjadi bisa dimanajemen dengan seimbang. Usaha untuk melakukan itu,salah satunya dengan cara terus menerus membangun formasi mental, jasmani dan rohani dalam diri kita masing-masing. Berkaitan dengan penyelenggaraan kepemimpinan sekarang, Cak Nun menyampaikan bahwa kebangkitan itu tidak harus diawali oleh adanya pemimpin yang baik tapi bisa juga diawali oleh rakyatnya yang bangkit. Sementara menjawab permintaan seorang jama’ah diawal acara agar Cak Nun bersedia “meluruskan” kembali reformasi, Cak Nun menjawab, “saya tidak merasa menjadi sesuatu sehingga harapan agar saya meluruskan reformasi itu saya rasa kurang realistis. Bangsa Indonesia ini 230 juta lebih sedangkan disini hanya berapa yang hadir?”.

Menutup keindahan Macapat Syafa’at 17 Desember 2012 ini, Cak Nun Kiai Kanjeng bersama seluruh jama’ah bersama-sama melantunkan Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar