“Lebih beruntung mana antara orang yang diberi ilmu atau orang yang mencari
ilmu?”. Pertanyaan dari Cak Nun ketika membuka acara rutin bulanan Macapat
Syafa’at di kompleks TKIT Al-Hamdulillah, Kasihan, Bantul, Jogjakarta pada 17
Desember 2012 yang lalu. Kemudian Cak Nun melanjutkan, “di Macapat Syafa’at
ini, bagaimana prosentase antara yang “diberi’ ilmu dan “mencari” ilmu?
Anda harus menghitung itu agar nanti bisa mengerti bahwa spirit Maiyah
dimanapun berada adalah mencari ilmu. Kalau tidak begitu, ya sudah…selesai”.
Mencari ilmu adalah sebuah kesadaran dan kemauan untuk secara aktif
melakukan pencarian dan penelusuran seluas-luasnya atas sebuah fenomena,
kejadian, peristiwa dan sebagainya sehingga menumbuhkan pengertian yang utuh
dan integrated. Cak Nun kemudian mencontohkan, “kalau Anda melihat
rokok, apa yang kemudian akan anda ingat? Asap…. Apalagi? Tembakau, petani,
pabrik rokok, pajak, korupsi, kesejahteraan rakyat, fatwa MUI dan sebagainya.
Nah, kalau anda mencermati segala hal, akhirnya anda akan “melihat” Allah.
Paralel dengan hal mencari ilmu, Cak Nun melihat banyaknya orang yang
berfikir dangkal itu karena memang mereka tidak terlatih untuk berfikir. “Di
Maiyah ini, kita bisa mendapat bahan-bahan dasar agar punya mekanisme berfikir
yang baik. Malas berfikir merupakan tanda-tanda kemanusiaan semakin surut”,
demikian Cak Nun menjelaskan. Cak Nun menegaskan kembali kepada jama’ah agar
membiasakan diri serta terus menerus mentradisikan aktifitas mencari ilmu
tersebut.
Tidak lama kemudian, Cak Nun langsung membuka sesi tanya jawab. Ada beberapa
pertanyaan, harapan dan pernyataan yang mengemuka malam itu. Seorang jama’ah
yang pertama kali memperoleh giliran menyampaikan harapannya agar Cak Nun
“meluruskan kembali” reformasi yang menurutnya telah berbelok arah. Kemudian
ada pula yang mempertanyaan tentang esensi dari perubahan. Sementara pertanyaan
ketiga tentang bagaimana caranya agar Indonesia bisa berpijar.
Menanggapi ketiga pertanyaan diawal sesi ini, Cak Nun memberikan “rumus”
terlebih dahulu bahwa landasan dalam aktifitas berfikir ialah harus
komprehensif. “Dalam menghadapi segala sesuatu termasuk berfikir, anda harus
mempertimbangkan betul mengenai environment of the context. Misalnya ada
kayu besar yang akan digunakan untuk mendirikan rumah. Biasanya orang akan
ramai ngomong bahwa kayu itu harus ditebang dan digergaji tapi siapa yang
berfikir bagaimana gergajinya? Sudah punya belum? Siapa yang akan menggergaji?
Dan seterusnya. Jadi, Anda harus konsekuen. Anda sudah mencukupi (sudah cukup
punya pengetahuan dan bahan-bahan yang komprehensif) belum untuk berfikir
tentang Indonesia?
Selanjutnya, menjawab salah seorang jama’ah yang bertanya “bagaiamana kita
bisa mengetahui bahwa apa yang kita lakoni/pilih ini merupakan kehendak
Tuhan?”, Cak Nun menggarisbawahi bahwa salah satunya caranya yaitu dengan
terlebih dahulu membedakan tentang “alat” dan “tujuan”. “Dengan begitu, kita
akan tahu mengenai kemuliaan”, ujar Cak Nun.
Untuk menjawab beberapa pertanyaan yang telah diajukan oleh beberapa jama’ah
tadi, Cak Nun meminta Cak Fuad untuk melengkapinya. Cak Fuad memulai menanggapi
soal “perubahan”. “Kalau ada orang bicara mengenai perubahan, itu kita harus
perjelas dulu. Yang diubah apanya? Permukaannya atau apanya? Mendasar atau
bagaimana? Dalam hubungannya dengan hal ini kita mengenal istilah wasilah
dan ghoyyah. Misalnya kita mengobati suatu penyakit, kita harus
mengobati sumbernya bukan gejalanya. Dalam konteksnya dengan Indonesia, menurut
saya, yang terlebih harus berubah adalah pandangan hidupnya.
Masih menurut Cak Fuad, pandangan hidup yang selalu melihat akherat adalah
muara akhir dari semua gerak sosial, politik, ekonomi serta semua hal/dinamika
dalam sejarah kebudayaan manusia adalah pandangan hidup yang akan mampu membawa
perubahan yang mendasar. Kalau anda menjadi dokter, ahli hukum, presiden dan
sebagainya itu tidak salah asalkan kamu bisa menilai, apa yang kamu lakukan
setelah menjadi “sesuatu” itu? Bagaimanapun juga, kita tidak akan bisa tahu
secara persis apa kehendak Allah atas diri dan hidup kita, maka kita harus
selalu ber “ihdinashirathal mustaqiim”. Cak Fuad menambahkan bahwa
kesesuaian antara keinginan kita dengan kehendak Allah disebut Taufik dan
Hidayah. Jadi, orang sukses adalah orang yang menemukan kesesuaian antara
kehendak diri dengan kehendak Allah.
Menyambung penjelasan Cak Fuad, Cak Nun menyebutkan, “kalau dunia kamu
jadikan tujuan, kamu tidak bisa menikmatinya. Maka kamu harus mengolah dunia
untuk akherat sehingga kamu akan menemukan betapa indah dan nikmatnya dunia.
Cak Nun menegaskan kembali bahwa keindahan adalah puncak dari kebaikan dan
kebenaran. Beliau lantas mencontohkan: “asal terpenuhi syarat dan rukunnya,
sholat itu sah, tapi bagaimana kira-kira kalau Anda sholat tidak khusyuk?” demikian
Cak Nun mengumpamakan. Menurut Cak Nun, kekusyukan itu keindahan sedangkan
fiqih itu urusannya dengan kebenaran (bagaimana yang benar) dan kebaikan
(bagaimana yang baik). Setelah memaparkan pentingnya cara berfikir yang
komprehensif dan benar, Cak Nun meneruskan, “kalau Anda sudah mengerti glepung
(secara denotatif berarti: beras atau jagung atau ketela pohon yang
ditumbuk hingga menjadi sangat halus. Tapi Cak Nun dalam banyak kesempatan
menggunakan istilah ini untuk menyatakan suatu keadaan yang sangat mendasar dan
esensial dari suatu hal menyangkut asal muasal suatu keadaan), Anda akan bisa
menterjemahkan apapun disekitar Anda. Dan disini yang coba saya lakukan adalah
memberikan “ilmu iblis”, suatu ilmu pionir. Anda bisa meresap kemana-mana. Disini
Anda dilatih mental, intelektual, emosional dan sebagainya agar Anda yakin
tentang “Wa lal akhirotu khoirulaka minal ‘ulaa” (sesungguhnya kehidupan
akherat itu jauh lebih baik daripada dunia).
Macapat Syafa’at bulan Desember 2012 kali ini memberi ruang yang lebih luas
kepada para jama’ah untuk berdiskusi dengan mengajukan berbagai pertanyaan.
Sebelum menjawab sebuah pertanyaan dari seorang jama’ah mengenai posisi antara
hukum vis a vis akhlak, Cak Nun menyampaikan bahwasanya kesabaran adalah
ketika kita tahan menjalani proses apapun dalam menuju kebaikan yang kita
yakini. “Itulah pentingnya ketidakpastian dan ketidaktahuan Anda atas sesuatu
hal. Tapi manusia sekarang tidak sabar sehingga tidak percaya kepada masa
depan. Dan yang dipercaya hanya apa yang ada didepannya/hadapannya”, Cak Nun
menjelaskan. “Maka dalam menghadapi apapun disepanjang perjalanan hidup ini,
manusia semestinya pandai-pandai menerapkan kesabaran. Kita seyogyanya memahami
bahwa Tuhan hanya meminta kerja keras kita. Tuhan hanya meminta kita berusaha
sungguh-sungguh untuk berubah, nanti biarkan Allah yang bekerja”, sambung Cak
Nun.
Tentang posisi antara hukum dan akhlak, Cak Fuad melandaskan pendapatnya
berdasarkan bunyi sebuah ayat yang berbunyi “dan balasan atas suatu
kejahatan adalah kejahatan yang serupa, dan barangsiapa memaafkan dan berbuat
baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah”. Pada frase pertama, yaitu
balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, ini hukum, lalu frase
kedua, tetapi kalau kamu memaafkan dan berbuat baik (atas perbuatan kejahatan
itu) ini akhlak.
Macapat Syafa’at bulan Desember kali ini juga di hadiri oleh Tjatur Sapto
Edi, Ketua Fraksi Amanat Nasional dan anggota komisi III DPR RI. Anggota DPR
yang juga anggota Banggar ini mengaku dahulu juga aktif dalam kegiatan Maiyahan
dimasa-masa awal kegiatan di Kasihan. Pada kesempatan Macapat Syafa’at kali ini
Pak Tjatur membenarkan apa yang disampaikan oleh Cak Nun diawal acara, bahwa
memang benar tidak mungkin kegiatan Macapat Syafa’at ini tidak ada gunanya. Pak
Tjatur menilai kegiaan-kegiatan Maiyahan seperti ini merupakan teknologi tinggi
sebab mampu mengakselerasi perubahan dengan cara memberi kesempatan kepada
masyarakat luas untuk membangun diri, menggali potensinya dan menemukan
mekanisme-mekanisme terbaik untuk merumuskan apa yang baik bagi dirinya dan
masyarakatnya. Selain itu, Pak Tjatur juga mengungkapkan beberapa hal meyangkut
hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Amerika, terutama yang berkaitan dengan
kontrak-kontrak kerjasama kegiatan ekonomi. Dalam pandangan Pak Tjatur, memang
sebenarnya ada banyak ketidakberesan dalam kerjasama-kerjasama itu, yang antara
lain berupa pembagian hasil yang tidak seimbang, tingginya kebocoran-kebocoran
(korupsi) maupun adanya sistem manajemen yang keliru dalam penyelenggaraan
kerjasama tersebut.
Senada dengan Pak Tjatur, salah seorang jama’ah yakni Mas Nanang yang
sebelum bekerja di Papua mengaku merupakan bagian dari kegiatan Maiyahan di
masa awal, menyebutkan bahwa kegiatan-kegitan Maiyah dari dulu hingga kini
tetap konsisten dengan pilihannya untuk tidak melembagakan diri menjadi
“padatan”. Ini justru akan lebih baik sebab dengan konsistensinya menjadi
gerakan kebudayaan dan forum ilmu, Maiyah justru mengambil peran penting
ditengah dinamika masyarakat, disatu sisi sebagai ruang dialog kebudayaan dalam
arti luas dan disisi lain menjadi Candradimuka untuk melahirkan
generasi-generasi baru yang dewasa dan mandiri dalam bersikap dan berdialektika
dengan setiap musim peradaban.
Pada bagian akhir, Cak Nun merespon beberapa hal yang disampaikan oleh Pak
Tjatur dan beberapa jama’ah berkaitan dengan konstelasi politik nasional. Cak
Nun mengungkapkan, “kita sejak awal diajari untuk (menyelenggarakan) penipuan
demi penipuan. Presiden jadi presiden itu menipu dirinya sendiri. Kita sebagai
rakyat menjadi sangat kuat karena tidak adanya peran pemerintah dalam
urusan-urusan praktis kemanusiaan kita. Jadi, marilah pilih pemimpin yang
seburuk-buruknya agar kita makin terlatih untuk menjadi manusia yang lebih kuat
lagi”, ujar Cak Nun yang diselingi kelakar.
Melanjutkan uraiannya, Cak Nun berpesan agar kita selalu berusaha melakukan
konektifitas kehendak kita dengan kehendak Tuhan agar berbagai hal yang terjadi
bisa dimanajemen dengan seimbang. Usaha untuk melakukan itu,salah satunya
dengan cara terus menerus membangun formasi mental, jasmani dan rohani dalam
diri kita masing-masing. Berkaitan dengan penyelenggaraan kepemimpinan
sekarang, Cak Nun menyampaikan bahwa kebangkitan itu tidak harus diawali oleh
adanya pemimpin yang baik tapi bisa juga diawali oleh rakyatnya yang bangkit.
Sementara menjawab permintaan seorang jama’ah diawal acara agar Cak Nun
bersedia “meluruskan” kembali reformasi, Cak Nun menjawab, “saya tidak merasa
menjadi sesuatu sehingga harapan agar saya meluruskan reformasi itu saya rasa
kurang realistis. Bangsa Indonesia ini 230 juta lebih sedangkan disini hanya
berapa yang hadir?”.
Menutup keindahan Macapat Syafa’at 17 Desember 2012 ini, Cak Nun Kiai
Kanjeng bersama seluruh jama’ah bersama-sama melantunkan Hasbunallah wa ni’mal
wakiil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar