Sejak jauh sebelum hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya “lebih ok
mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok?” muncul labirin dan mosaik jawaban.
Ada jawaban “close-up” : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ;
si JA hebatnya begini, memblenya begitu — tentu saja semua dalam skema
nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan, kematangan
manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial budayanya, juga kadar
kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada yang dari
filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common
sense” atau “kata ini”, “menurut itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama
misalnya menyebut pemimpin harus soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan
dengan konsep, perencanaan dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa
sehingga “dipastikan” sangat minimal mudlaratnya.
“Soleh” itu “baik” pada formula yang demikian. Ada “baik-baik” yang lain
dalam bahasa Tuhan. “Khoir” itu kebaikan yang universal, cair, bahkan
Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. “Ma’ruf” itu kebaikan yang
sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan antar
manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama. “Ihsan” itu
kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat baik meskipun
tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum atau etika. Ada lagi “birr”,
yang menghasilkan istilah “mabrur” : itu puncak pencapaian kebaikan
dalam hubungan spesifik antara manusia dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia
dipunggungi atau sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara total.
Kalau memakai “close-up” pemahaman yang ini, benar-benar tidak
gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu luasnya
kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya cakrawala
probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan kesimpulan kita
tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh teori ilmu teater:
“Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain yang berada di tempat yang
tepat atau tidak”.
Jadi, soal “casting”. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi
mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi kebaikan
kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya. Berdzikir
siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan istri bingung tak punya beras.
Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat kalau dilaksanakan di
halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat berjamaah.
Bahkan ada orang yang ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan ayam.
Ada pejabat yang ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada tentara yang
ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak Riamirzad Ryacudu ketika menjadi
KASAD pusing kepala karena ada temannya yang mengajukan Surat Mohon Tidak
Naik Pangkat. Orang macam saya ini hampir sama sekali nir-tepat:
jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman, kiai, aktivis, dukun, pengasuh
Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi — belum pernah benar-benar berada pada
koordinat ketepatan.
Kalau keruwetan hidup macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi
pengetahuan bahwa JA tepat memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa
prosentasenya, justru yang diperlukan adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah
kesebelasan nendang bola agak melenceng, sehingga terkena kaki pemain belakang
lawan, sehingga bola meleset dan masuk gawang.
Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan musuh utamanya sesudah “Kemenangan
Mekah” agar segera cari istri dan berumah tangga. Dilaksanakan. Kelak putra
beliau yang dikasih saran ini yang membunuh cucu Nabi. Jengis Khan
menghancur-leburkan peradaban Islam meluluh-lantakkan perpustakaan besar Islam
Bagdad, kemudian kelak cucunya menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali
tradisi intelektual dan kebudayaan Islam.
Dalam kasus itu di mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan?
Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW itu menambah teks khutbah Jumat
dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelak cucunya
menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan dia yang menghapus kalimat
kutukan itu. Karena itu dalam sebuah peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan
tinggal dipenggal lehernya, Nabi Muhammad SAW melarangnya: “Jangan bunuh, saya
sudah mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu mereka”.
Jadi JA dan FN berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk membangun
kegembiraan rakyat Jakarta dengan kesungguhan hati dunia akhirat terserah
Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah
sama-sama bisa makan berkecukupan, bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar,
punya mobil, dan sudah sama-sama aqil baligh.
Aqil artinya sudah memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu
pasti sehat. Baligh artinya kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan,
mewujudkan, mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas,
ilmu menjadi kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga sama-sama “Amirul Mu’minin”, pemimpin
proses menuju “aman”, dengan landasan “iman”, membawa senjata “amanah”, dengan
ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin membangun iman amin amanah aman
beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya, aman kesehatannya,
aman keadilannya, aman hartanya, aman kerjaannya, aman seluruhnya.
Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mu’min. Kriteria, parameter atau
tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu
lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman martabat semua orang,
dan aman nyawa semua orang.
Tetapi jaminan “aman” itu belum pernah benar-benar menjadi pengalaman
sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas
pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban yang sangat lebih jauh
“mempercayai” relativitas. Memang lebih luas namun ada semacam tarik-ulur
antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam jawaban agak bingung antara sangka
baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok — oleh suatu
keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.
Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum
pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari pada
menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme, situasi
kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen — membuat kesebelasan itu lebih
baik mengalami kalah dulu kali ini, demi kebangunan yang lebih matang pada
tahap berikutnya. Juga karena kwalitas mental para pemain belum transenden dari
situasi kalah atau menang.
Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah, belum
tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga
kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak
bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena keterbatasan rasional, manusia harus
mengambil ketetapan pandangan bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang
celaka adalah kalau FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan
pendapat sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya adalah
kalau JA menang.
Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah dalam
kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi
bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau
bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh
kesanggupan managemen, kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan
kelenturan mental pada manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
Itulah sebabnya selama pertandingan dua petinju saling mengincar, memukul
dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding mereka berpelukan, saling mengangkat
dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab mereka itu “musuh” selama pertandingan
namun sahabat dalam kehidupan. Partnership yang kompak dalam ideologi untuk
sama-sama menghormati sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa
hukumnya: adil. Bahasa keseniannya: pas.
Jawaban yang paling “parah” berbunyi semacam “distrust statement”.
Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik. Misalnya: “Jokowi atau
siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah Jakarta, tapi tidak akan
berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang sudah terlalu akut. Yang
dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak, modus pencuriannya, formulanya
dan teknis strategi pencuriannya saling mendukung dan saling menggelembungkan
dengan mental dan budaya kemunafikan yang hampir sempurna.”
“Semua itu muncul di semua lini dan segmen, di semua bidang dan disiplin, di
gedung pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di
tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada manusianya dan sistemnya, etika
sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit Pemerintahan Indonesia di era
apapun sudah bukan hanya tidak bisa diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika
mencoba merumuskannya. Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun
dari langit sap tujuh”.
“Ini bangsa semakin tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini
rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun
Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah
dan pecah kepalanya. Bawa ke sini Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson
Mandela, Firaun yang cacat teologi namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya,
serta semua pemimpin dunia yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan
menjadi satu orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah
Indonesia….”
Jadi bagaimana pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu menjawab:
“Barang siapa tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah, maka ia tidak
berkewajiban untuk menyelesaikan masalah. Barang berat yang mestinya dimuat
oleh truk besar, tidak memberi kewajiban kepada becak atau andong untuk
mengangkutnya. Kita yang becak lakukan terus darma perjuangan becak, yang
andong aktif terus menyelenggarakan pengabdian becak.”
“Setor-setor kerja keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin
tanam padi terus, karena ada sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam
semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan padi itu dan menyiapkan panen
raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan, termasuk yang meneteskan embun dari
gigir daun-daun, yang memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa
kita buang air kecil pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang
kiamat besar atau kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat
Depag”.
“Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu dong…. Kalau Engkau
berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu, melainkan hidayah-Mu dengan mudah
merasuki semua mereka yang sedang bingung menentukan pilihan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar